Deskripsi : Lokasinya berada di Desa Sebayi, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun. Situs Candi Sebayi berada di area hutan milik perhutani. Berdasarkan deskripsi dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Situs ini berupa reruntuhan bangunan candi dengan bahan batu andesit dan bata. Reruntuhan candi ini ditemukan pada tahun 2006. Di Area situs dijumpai kumpulan bata candi yang sudah tertata namun tidak berbentuk bangunan serta sebaran batu candi yang masih dijumpai disekitarnya. Area sebaran batu candi diperkirakan 4 hektar. Lokasi ini dahulu dimanfaatkan sebagai lahan pertanian yang kemudian digunakan sebagai lahan Perhutani. Bata-bata polos, dan berukuran besar, sedangkan batu-batunya dari bahan andesit ada yang memiliki pelipit, takikan, sisi genta, batu dengan relief bunga melati berukuran 15 x 20 x 35 cm. Menurut informasi bahwa di lokasi ini pernah dijumpai struktur pagar dengan tinggi 1,5 meter namun hancur karena tertimpa pohon jati.
Cerita Lisan di Balik Candi Sebayi : Menurut kesaksian peladang di sekitar reruntuhan candi, Mbah Mukimin menuturkan, bahwa dulu saat zaman Belanda candi ini masih berdiri megah walaupun terlihat candi seolah dalam keadaan belum sempurna, pada saat Agresi militer Belanda tahun 1949 Candi ini sempat menjadi ajang pertempuran dalam penyerangan Belanda ke Loji-loji Perhutani. Setelah Jatuhnya rezim Suharto dan berganti era reformasi juga terjadi penjarahan arca-arca oleh orang-orang dari luar Desa Sebayi, karena masyarakat Sebayi sendiri mempunyai kepercayaan dan kearifan bahwa tempat itu adalah keramat dan tidak berani membawa benda-benda apapun di sekitar situs Candi Sebayi. juga ditutur oleh Kepala Desa Sebayi Heru Wiratno dan Mantri Perhutani Pak Santoso, bahwa disekitar candi ini masih ada beberapa reruntuhan batu bata kuno, juga di Desa Kaligunting ada reruntuhan Batu bata kuno masyarakat menyebutnya “mbata sekawit” juga arca golek dari batu yang dipercaya sebagai asal penamaan Desa Sebayi yang sampai dengan hari ini belum ditemukan keberadaannya
Catatan Arkeologis lain di Desa Sebayi : Selain Situs Candi Sebayi, Dinas Kebudayaan Kabupaten Madiun sempat mencatat sebuah Punden makam kuno yang terletak di Dusun Sebayi. Punden tersebut dinamakan Punden Kromodipuro. Punden ini berada disebelah barat Sungai Sebayi atau berjarak 300 meter tenggara SMK 1 Gemarang. Menurut warga sekitar, punden ini merupakan cikal bakal dari penamaan Desa Sebayi. Konon tokoh yang bernama Kromodipuro tersebut dimakamkan saat masih bayi.
Jauh sebelumya dengan berdasarkan catatan Theodore Altona (Seorang Botani), di daerah sebalah utara Dusun Ketupu sempat dicatat adanya sebuah candi. Tempat itu oleh masyarakat Desa Sebayi saat itu dikenal dengan nama Sekar Putih. Sekar Putih mempunyai arti Bunga para imam atau Kepala Imam). Di tempat tersebut sempat ditemukan sebuah arca ganesha yang sangat lapuk dan benda-benda lainya. Benda-benda lainnya tersebut kemudian dibawa ke Desa Sebayi dan Caruban. Menarik untuk dikaji apakah sekar putih yang dimaksud adalah candi sebayi sekarang ini?. Selain itu, di Dusun Ketupu sempat ditemukan batu patok batas desa dekat Sungai Sebayi. Kemudian, Jan Knebel (1906) sempat mencatat cerita legenda tentang punden kramat dandang yang berada di Hutan sebelah barat Dusun Ketupu, Desa Sebayi.
Laporan peninjauan Potensi Arkeologis di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, 2014
Reinhart, Christopher (ed). 2021. Antara Lawu dan Wilis : Arkeologis, Sejarah dan Legenda Madiun Raya berdasarkan Catatan Lucien Adam (Residen Madiun 1934-38). Jakarta : KPG.
Knebel (J.), 1906. Legenden over de plaatsen van vereering (poendèn), de plaatsen waar offers gebracht worden (panjadranan), de plaatsen waar geloften gedaan worden (kahoelan, panadaran), of waar men zich afzondert om eene openbaring te ontvangen (panëpèn), in het regentschap Madioen. Dalam Jurnal T. B. G. XLVIII, 527.
Pahlawan Street Center (PSC) merupakan kawasan wisata baru yang ada di Kota Madiun. Taman Wisata Sumberwangi atau Sumberumis kini menjadi favorit warga Madiun untuk dikunjungi. Disana terdapat replika patung merlion Singapura menjadi daya tarik wisatawan. Sebenarnya daya tarik wisata di PSC tidak hanya patung merlion, disepanjang jalan yang bernama asli Jalan Pahlawan ini masih berdiri beberapa bangunan peninggalan era kolonial Belanda. Salah satu bangunan itu adalah Kepala Badan Koordinasi Wilayah I (Bakorwil) Madiun.
Bagi warga kota Madiun Rumah Dinas Bakorwil I Madiun merupakan istana Merdeka-nya Madiun karena bentuk bangunannya yang mirip. Jika Istana Merdeka di Jakarta dulu merupakan Paleis te Koningsplein (Istana Koningsplein), maka Rumah Rumah Dinas Bakorwil I Madiun dulu adalah Residentshuis/Residents woning Madioen atau Rumah Residen.
Rumah Dinas Bakorwil I Madiun (Dok. Pribadi)
Riwayat Rumah Residen Madiun.
Dinamakan rumah Residen Madiun karena merupakan tempat tinggal para residen belanda yang memimpin Residentie atau Keresidenan Madiun. Keresidenan Madiun dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1830 bersamaan dengan keresidenan Banyumas, Bagelan, Kediri dan Ledok. Disaat itu pula Loudewijk De Launy diangkat oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda sebagai Residen Madiun yang pertama. Untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan kolonial di Madiun maka dibangunlah berbagai sarana penunjang seperti rumah residen.
Dalam catatan kaki Onghokham yang merujuk pada jurnal Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI) Deel XXI, 1949 (2019: 133), menyebutkan jika rumah residen Madiun dibangun pada tahun 1831 di bekas benteng pertahanan belanda. Rumah residen pada saat itu menjadi loji (logee) pertama didaerah ini. Bangunannya tidak memiliki pendopo seperti rumah bupati. Akan tetapi beranda depanya dibuat lebar seperti kuil yunani dengan pilar batu tinggi besar dan berlantai marmer. Sebagai simbol hubungan antara-elite dan pribadi dari kekuasaan kolonial, residen akan menerima tamu di aula dalam rumah tersebut dibawah gambar Raja/Ratu Belanda (Onghokham, 2019: 105).
Dalam perang Jawa, Madiun disebut dengan Wonorejo yang merupakan wilayah Mancanegara Yogyakarta. Wilayah ini kemudian pusat kedudukan residen. Ketika ditempati pada (Mei) 1938 dimana E. Francis menjabat sebagai Residen Madiun, situasi rumah residen masih sepi dan dikelilingi oleh sawah hampir disemua sisinya. Di sisi timur dan tenggara, terhampar sawah yang berbatasan dengan hutan jati. Ketika seseorang memandang ke horizon, akan terlihat bahwa hamparan sawah ini juga berbatasan dengan lereng Gurung Wilis (Reinhart, 2021: 274).
Sebuah catatan menarik datang dari Franz Wilhelm Junghun (1809-1864) seorang geolog, saat dia tiba di tempat ini (Madiun) pada 13 Juni 1838. Dia kemudian menginap sebuah bangunan di kompleks kediaman residen yang serupa dengan sebuah benteng kecil atau penjara. Dia juga mengungkapkan bahwa situasi pada saat itu masih sangat sepi. Orang eropa yang tinggal di kompleks itu masih tiga dan empat orang. Baginya situasi ini serupa dengan sebuah peternakan di eropa yang dikelilingi rerumputan (Reinhart, 2021: 274).
Dalam artikel Madioen Hondred Jaar Gelegen yang dimuat dalam surat kabar Soerabaiasche Handelsblad, 27 September 1937, menyebut rumah Residen Madiun diperkirakan dibangun pada tahun 1830 atau 1831. Pada suatu laporan perjalanan tahun 1843 dan 1849, kondisi rumah residen digambarkan berbeda. Pertama, dikatakan bahwa rumah residen yang berada ditepi sungai Madiun ini bangunannya “paling indah”, akan tetapi “kurang bersih”. Kemudian yang kedua, bahwa pemukiman eropa hanya terdiri dari beberapa rumah, rumah residen adalah bangunan yang menonjol karena keindahannya dan mempunyai halaman yang luas. Keindahan rumah residen sempat dirusak oleh angin kencang dari barat daya yang menerjang pada bulan Februari 1840. Kerusakan yang ada langsung sepenuhnya diperbaiki (Teesntra, 1846: 216).
Rumah Residen Madiun sekitar tahun 1930 (KITLV)
Van Gelder (1882 : 127), juga menyebutkan jika rumah Residen Madiun terletak pemukiman orang eropa dan merupakan bangunan yang sangat indah. Pemukiman eropa pertama kali di Madiun sangat dimungkinkan awalnya terkonsentrasi di sekitar rumah residen. Hal ini berhubungan keamanan orang-orang eropa yang tinggal di Madiun. Mengenai wilayah pemukiman eropa di Madiun sempat sekilas disinggung oleh L. Adam dalam Christopher Reinhart. Dalam catatan kakinya disebutkan (2021 : 164) jika tanah desa yang bernama Patoman dibeli oleh pemerintah kolonial pada tahun 1831 untuk diubah menjadi pemukiman penduduk termasuk membangun rumah residen. Nama Patoman masih tertera di peta-peta lama. Sekarang menjadi nama lingkungan Kelurahan Madiun Lor tapi tidak tercatat secara adminitrasif.
Sebelumnnya disebutkan bahwa rumah residen Madiun dibangun bekas benteng pertahanan belanda. Bahkan Junghun juga hampir menyebut hal demikian ketika tinggal di Madiun. Jika berdasarkan tinjauan peta-peta lama, bangunan benteng sebenarnya berdiri sendiri. Benteng terletak sebelah barat laut yang hanya sekitar 200 meter dari rumah residen (lihat peta). Akan tetapi hal ini kiranya perlu diteliti lebih lanjut, apakah Junghun sempat tinggal di kompleks rumah residen atau malah di dalam benteng.
Mungkin tidak banyak yang mengetahui jika di Kota Madiun pernah terdapat benteng. Wilayah bekas benteng sekarang dikenal dengan “Beteng” yang sekarang menjadi kompleks perumahan kepolisian dan tempat ibadah. Benteng inilah yang digunakan Belanda untuk meredam pasukan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa 1825-1830. Benteng ini dibangun karena saran dari seorang tuan tanah dari Yogyakarta, Pierre-Medard Diard (1794-1863). Tempat dibangun benteng disebut sebagai Kartoharjo (Bukan Wonorejo). Sesegera Bupati Madiun (Ronggo Prawirodiningrat) membangun benteng tersebut dengan menugaskan RT Sosronegoro, seorang mantan pertuas pemunggut pajak di Grobogan-Wirosari dengan perintah membangun “benteng ing Kartoharjo”. Benteng tersebut disebutkan punya dua bastion di sebelah utara selatan, yang dapat menjangkau jalan menuju Ponorogo dan juga mengawasi rumah bupati serta pasar (Reinhart, 2021 : 316-318)
Dalam Madioen Hondred Jaar Gelegen, disebutkan jika benteng benteng selesai dibangun 1831. Berbentuk segiempat sehingga punya 4 bastion sama seperti dalam peta tahun 1917 (lihat peta). Jumlah bastion yang jelaskan sebelumnya berbeda, ada kemungkinan telah ditambah. Pada tanggal 13 April 1853 Pemerintah kolonial belanda mengeluarkan Staatsblad No. 27 yang memuat nama benteng-benteng pertahanan di Jawa dan Madura. Benteng Madiun disebut dengan nama blokhuis (Suprianto, 2021 : 33). Pembangunan benteng dan rumah residen ini merupakan sebagai tanda dimulainya era kolonisasi di Madiun.
Sebagai Nama Jalan.
Rumah Dinas Barkorwil I Madiun beralamat di Jalan Pahlawan No. 31 , Kota Madiun. Mungkin belum banyak yang tahu jika Jalan Pahlawan dahulu sempat bernama Residentlaan atau Jalan Residen. Penamaan ini sudah tentu mengambil dari keberadaan Rumah Residen (Suprianto, 2021 : 53). Pada umumnya penamaan jalan pada masa kolonial selalu memakai akhiran Straat, Laan, Weg dan Steeg. Akhiran Laan pada kata Residentslaan memiliki pengertian jalan indah yang ditanami pohon di sisi kanan-kirinya (Raap, 2015: 166). Dahulu Residentslaan memang dikanan-kirinya terdapat pohon. Bukti ini bahkan terpetakan dalam peta tahun 1917. Mengenai jenis pohon apa yang ditaman pada saat itu masih belum diketahui. Alberts S. Bickmore (1868: 104) dalam bukunya Travels In East Indian Archilepago menyebutkan bahwa di jalan jawa merupakan jalan yang baik karena dipinggir jalan ditanami pohon peneduh. Salah satu pohon yang digemari adalah Pohon Asam. Namun kenyataannya sekarang banyak pohon peneduh dipinggir jalan yang ditebang dengan alasan tertentu misalnya untuk keamanan pengendara.
Residentslaan merupakan bagian dari jalan pos atau postweg yang menghubungkan Surabaya dengan Surakarta. Fungsinya sama dengan Jalan Raya Pos Deandels perbedaannya cuma pada tahun pembangunannya. Jika Jalan Daendles sebagian besar mengambil rute pantai utara, pada tahun 1854 juga mulai dibangun postweg yang mengambil rute melewati Yogyakarta, Surabaya, Madiun, dan Kediri. Jalan ini dibangun membutuhkan waktu yang cukup lama yakni 20 tahun (Suprianto, 2021 : 14).
Residentslaan bisa dikatakan jalan yang menjadi titik awal lahir serta berkembangnya Kota Madiun. Belanda mendirikan Residentie atau Keresidenan Madiun pada tahun 1831 serta membentuk Gemeente atau Kota Madiun tahun 1918 di kawasan jalan ini. Bahkan hampir semua bangunan pemerintahan dan fasilitas yang dibangun oleh Belanda semuanya dipusatkan di jalan ini. Keberadaan bangunan-bangunan tersebut membuat Residentslaan tak ubahnya menjadi centrum stads atau pusat kota. Keadaan seperti ini bertahan sampai sekarang (Suprianto, 2021 : 53-55).
Berarsitektur Indische Empire
Rumah Dinas Bakorwil merupakan salah satu bangunan Belanda di Kota Madiun yang masih mempertahankan bentuk asli dan masih berfungsi dengan baik. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa, bangunan rumah dinas bakorwil memiliki beranda luas dan adanya pilar yunani yang besar. Bagian-bagian merupakan salah satu ciri rumah yang berarsitektur Indische Empire.
Gaya arsitektur indische empire awalnya adalah bagian kebudayaan indisch yang berkembang di kalangan urban Hindia Belanda pada abad 17 dan 18. Pada mulanya, gaya arsitekur ini sebenarnya hendak meniru gaya aristokratik kalangan atas orang-orang Eropa. Para penggunanya antara lain adalah pejabat-pejabat VOC yang tinggal di daerah rural, di pinggir kota Batavia. Bangunan bergaya indische ini pada awalnya disebut dengan nama heerenhuizen atau landhuizen. Rumah tersebut biasanya dilengkapi dengan kebun-kebun yang luas, yang sangat kontras dengan keadaan rumah-rumah di sekitarnya yang biasanya menghadap ke sungai dan jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya hampir tidak ada.
Gaya landhuizen itu mengalami perubahan saat Gubernur Jenderal H.W. Daendels datang (1808-1811). Dia adalah bekas perwira tentara Louis Napoleon dari Perancis, yang mana ketika itu di Perancis sedang berkembang arsitektur neoklasik yang disebut empire style. Daendels kemudian mengubah rumah landhuizen yang ada di Hindia Belanda itu dengan suatu gaya empire style yang berbau Perancis. Gaya itulah yang kemudian dikenal dengan nama indische empire style, yaitu suatu gaya arsitektur empire style yang disesuaikan dengan iklim, teknologi, dan bahan bangunan setempat. Adapun ciri lengkap dari gaya bangunan tersebut bisa dilukiskan sebagai berikut: Denahnya simetri penuh. temboknya tebal, langit-langitnya tinggi, lantainya marmer. Di ruang tengah terdapat central room yang besar yang berhubungan langsung dengan beranda depan dan beranda belakang yang luas. Beranda yang luas dari gaya arsitektur tersebut merupakan penyesuaian dengan iklim tropis lembab yang membutuhkan cross ventilation yang baik. Beranda pada rumah indische juga berfungsi dalam pergaulan sosial orang-orang Eropa kala itu. Di beranda, mereka kerap mengadakan pesta dansa di sore hari bagi kaum muda, dan tempat main kartu bagi orang tua.
Beberapa ciri diatas masih bisa kita lihat untuk bangunan rumah residen atau rumah dinas bakorwil. Untuk bangunan utamanya nyaris tidak ada perubahan. Jika melihat peta lama tahun 1917, disebelah utara dan selatan bangunan utama terdapat dua bangunan memajang yang dihubungkan oleh koridor. Bangunan sebelah utara besar kemungkinan adalah ruang servis. Ruang servis merupakan tempat gudang dan memasak. Kemudian bangunan sebelah selatan besar kemungkinan adalah paviliun khusus tamu. Menariknya disebuah taman rumah dinas bakorwil bisa kita temui arca-arca. arca-arca yang terindetifikasi diantaranya adalah nandi, arca dewi, arca agastya, panil relief dan arca durgamahisasuramardini. Arca-arca ini kemungkinan dahulu merupakan milik para residen dan diletakan ditaman-taman sebagai hiasan. Mengenai asal-usul temuannya kemungkinan semuanya berasal dari Madiun.
Berdasarkan hasil pendataan obyek diduga cagar budaya (ODCB) Kota Madiun, ada setidaknya tiga bangunan lagi yang berasitektur sama dengan Rumah Dinas Bakorwil. Ketiga bangunan itu adalah Rumah Kapiten China (Alun-Alun Selatan), Rumah Rokok Grindo (Jalan Kutai) dan Rumah Diesel Redjo (Jalan H. Agus Salim. Arsitektur rumah dinas bakorwil ini tergolong langka dan sangat perlu dilestarikan. Itulah sebabnya pada tahun 2017 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Madiun melakukan pendaftaran disertai kajian untuk rumah dinas bakorwil. Pendaftaran dan Kajian ini gunanya untuk menetapkan rumah dinas bakorwil sebagai Cagar Budaya. Hasilnya pada tahun 2019 Kompleks Rumah Dinas Bakorwil telah menjadi Cagar Budaya peringkat Kota.
Daftar Rujukan
Bickmore, Alberts S. 1868. Travels In East Indian Archilepago. London : John Murray, Albemarle Street
Handinoto, 1994. Indische Empire Style : Gaya Arsitektur “Tempo Doeloe” Yang Sekarang Sudah Mulai Punah. Dimensi 20/Ars Desember 1994.
Onghokham, 2018. Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priyayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abab XIX. Jakarta: KPG
Raap, Olivier Johannes 2015. Kota di Djawa Tempo Deoloe. Jakarta : KPG
Reinhart, Christopher (ed). 2021. Antara Lawu dan Wilis : Arkeologis, Sejarah dan Legenda Madiun Raya berdasarkan Catatan Lucien Adam (Residen Madiun 1934-38). Jakarta : KPG.
Suprianto, Andrik. 2021. Nama-Nama Jalan di Kota Madiun Masa Kolonial 1918-1942 : Asal-usul dan Perubahannya. Kediri: Pasak Kadhiri.
Soerabaiasch Handelsblad, 24 September 1937. Madioen Honderd Jaar Geleden :Komst van Europeesch Bestuur.
Teenstra, M.D. 1846. Beknopte beschrijving van de Nederlandsche overzeesche bezittingen voor beschaafde lezers uit all standen uit de beste bronnen en eigen ervaring in Oost- en west – Indien geput. Groningen: J. Oomkens J. Zoon ,
Van Gelder, W. 1882. Beschrijving van het Eiland Java En Zijn Bewonners, Voor De Scholen in Nederlandsche-Indie. Batavia : G. Kolff & Co.
Van Hoevel, Dr. W.R. 1859. Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI) XXI Deel I. Zat- Bommel: Joh Noman & Zoon.
RDM Veerbek dalam Verhandelingen Oudhen van Java (1891: 211) menyebut batu tersebut dengan nama Het steentje met jaartal 1391 Çaka atau batu berangka tahun 1391 Çaka (1469 Masehi). Batu ini berasal dari Madiun namun belum diketahui lokasi penemuannya. Batu tersebut sempat dibawa ke Kediri oleh Residen Van de Pol dan diletakan dihalaman rumah residen. Berdasarkan regeerings almanak, Van de Pol menjabat residen Kediri mulai dari tahun 1857-1862. Bisa jadi tahun penemuanya sekitar rentang tahun tersebut dan kemudian dibawa ke Kediri. J. Knebel dalam ROC (1906: 31), memberitakan bahwa batu tersebut sempat berada di rumah Controleur (Kontrolir) Madiun bersama dengan arca yang berangka tahun 1308 Çaka (1230 Masehi) sebelum akhirnya dipindah ke Museum Weltevreden atau sekarang Museum Nasional Jakarta. Di Museum Nasional teregistrasi dengan nomor D. 60.
Batu ini berbentuk seperti batu tugu dengan bagian atas lancip (kurawal). Ukuran tingginya ± 50 cm. Ada kemungkinan fungsi dari batu ini adalah tugu batas desa/wilayah. Pada bagian sisi lebar (depan-belakang) terdapat hiasan kotak persegi panjang yang diukir ditengah secara vertical dan diatasnya terdapat ukiran berbentuk seperti mahkota. Bagian bawah terdapat hiasan lingkaran, segitiga, dan persegi yang bentuknya tidak beraturan. Di Kelurahan Wungu (Kecamatan Wungu, Madiun), tepatnya tengah-tengah dipemukiman penduduk juga terdapat sebuah batu tugu. Batu tugu ini ukuranya lebih besar daripada batu tugu D. 60.
Angka tahun 1391 Çaka terukir di salah satu sisi tebal (kanan/kiri). Yang menarik penulisan aksara angka-angkanya terlihat miring. Angka tahun terdekat yang masih satu area (Keresidenan Madiun) adalah Inskripsi Sine (Ngawi) yang berangka tahun 1381 Çaka (1459 Masehi) (sekarang juga di Museum Nasional Jakarta). Namun penulisan aksaranya lebih cenderung satu tipe dengan akasara (candi) sukuh (Hopermans dalam TBG, 1875: 161 ). Berdasarkan Holle (1882: 48), penulisan angka tahun di batu tugu tersebut mirip dengan angka tahun 1259 Çaka (1337 Masehi) di acra dwarapala Candi Induk, Kompleks Candi Penataran, Blitar . Tahun 1391 Çaka masih merupakan masa Kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Raja Girindrawarddhana.
Dokumentasi Pribadi 2015
J. Knebel. Beschrijving der Hindoe-oudheden in de afdeeling Awi, Patjitan en Panaraga der Residentie Madioen. Dalam RCO 1905-6.
R. D. M. Verbeek.. Oudheden van Java. Dalam VBG 1891
K.F. Holle. 1882. Tabel van oud- en nieuw-Indische alphabetten: Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie.
Hopermans, H. Het Hindoe Rijk van Doho. Dalam jurnal TBG. Deel XXI, 1875
Sebuah rumah megah nan
indah bergaya kolonial yang berada di sebelah selatan alun-alun kota masih
kokoh berdiri hingga sekarang. “Woning
Kapitein Chinees” bergitulah keterangan yang tertera dalam peta Hoofdplaats Madioen 1917 (lihat peta 1).
Woning Kapitein Chinees merupakan
tempat tinggal Kapten Cina Madiun. Kapten Cina merupakan jabatan non-militer
yang diberikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk memimpin masyarakat
tionghoa yang ada di wilayahnya atau bisa
disebut Pecinan.
Peta 1 – Potongan Peta Hoofdplaats Madioen 1917 yang telah dimodifikasi
Sebelum membahas
tentang siapakah Kapten Cina Madiun terlebih dahulu sedikit akan menjelaskan
tentang Pecinan Madiun?. Lokasi pecinan di Kota Madiun terkonsentrasi di
selatan alun-alun. Keberadaan mereka di Madiun sudah ada jauh sebelum
kedatangan orang-orang eropa. Mereka kemungkinan hidup membaur dengan penduduk
lokal. Setelah Belanda menguasai sebagian nusantara kemudian pada tahun 1782 mengeluarkan
undang-undang yang mengatur etnik yang disebut “wijkenstelsel”. Undang-undang
ini mengharuskan etnik-etnik yang ada di suatu daerah untuk tinggal didaerah
atau wilayah yang telah ditentukan didalam kota. Misalnya orang Tionghoa harus
tingal di Pecinan, yang tinggal diluar Pecinan harus pindah kedalam wilayahnya sendiri
yang telah ditentukan (Handinoto, 1999 : 24). Tujuanya adalah agar mudah
diawasi serta mudah dilindungi. Namun dalam stadsblaad
tahun 1835 No. 37 tujuan pemisahan Pecinan adalah untuk menghindari
bercampurnya dengan bangsa lain di Jawa (Onghokham, 2017 : 32-33).
Rumah Kapten Cina tahun 2017
Wijkenstelsel inilah yang kemudian melatar belakangi terbentuknya
sebuah Pecinan. Untuk memudahkan pengontrolan atas
daerah ini pemerintah Belanda menunjuk pemuka-pemuka tionghoa untuk mengepalai
daerah ini. Pemimpin ini diberinama Mayor, Kapten dan Letnan atau dengan kata
lain opsir Tionghoa (Handinoto, 1999 ; 24). Perlu diketahui Belanda baru bisa
menguasai wilayah Madiun pada tahun 1831 atau setelah Perang Diponegoro yang
dahsyat. Pada tahun 1835, L. Launij selaku residen pertama Madiun (menjabat
1831-1838) mengangkat seorang tionghoa bernama Tan Ting Kiauw untuk menjadi
opsir. Namun jabatanya bukan Kapten melainkan Letnan. Menariknya, Tan Ting
Kiauw kemudian naik pangkat menjadi Kapten pada masa Residen Antonij Rutering
(1854-1858) (Almanak, 1836 & 1855). Dengan demikian, Tan Ting Kiauw adalah
Letnan sekaligus Kapten China Madiun yang pertama.
Lalu siapakah nama
Kapiten China Madiun yang sempat menempati rumah yang beralamat di Jalan
Kolonel Marhadi, Kota Madiun tersebut?. Rumah tersebut ditempati oleh orang
tionghoa yang bermarga Njoo. Leluhur keluarga Njoo di Madiun adalah Njoo Tjwan
yang diperkirakan datang ke Pulau Jawa sekitar 1820-an. Njoo Tjwan mempunyai
anak bernama Njoo Bing Thwan yang kemudian mulai menetap di Madiun. Njoo Bing
Thwan diketahui dimakamkan Djosenan,
namun sayang bongpay Djosenan kini
telah rata dengan tanah. Njoo Bing Thwan mempunyai 4 orang anak bernama Njoo
Kie Siong, Njoo Kie Sien, Njoo Kie San, dan Njoo Bien Nio. Salah satu putranya
yang bernama Njoo Kie Siong merupakan orang tionghoa termana di Madiun. Ia
dikenal banyak berjasa dan membantu orang-orang miskin, sehingga sekitar tahun
1910 diberi perhargaan oleh Pemerintah Hindia-Belanda (Haryono, 2017: 129). Bersama
Njoo Kie Sien, Njoo Kie Siong juga berjasa dalam pembangunan baru Klenteng Tri
Dharma Hwie Ing Kiong di Jalan HOS Cokroaminoto. Perlu diketahui, Klenteng
Madiun konon dahulunya berada di tepi barat sungai Madiun. Berkat bantuan dari
Residen Madiun, klenteng baru dibangun dilokasi sekarang ini dan pembangunannya
memerlukan waktu 10 tahun 1887 hingga 1897.
De Locomotief15 Maret 1900 Iklan Houthandel Njoo Kie Siong
Njoo Kie Siong memiliki
sebuah perusahaan kayu bernama “Houthandel
Njoo Kie Siong”. Area hutan di Gemarang, Kedung Dawung, Nampu (Distrik
Kanigoro), Pajaran, Jatiketok (Distrik Caruban) serta Banyubiru dan Begal
(Distrik Gendingan) diketahui merupakan milik dari Njoo Kie Siong (Almanak,
1907). Meski menjadi orang kaya dan dikenal oleh masyarakat tionghoa Madiun.
Njoo Kie Siong tidak diangkat menjadi menjadi opsir tionghoa. Putra Sulungnya
bernama Njoo Swie Lian-lah yang kemudian diangkat menjadi opsir tionghoa Madiun
(Haryono, 2017: 129).
Njoo Swie Lian lahir
pada tahun 1871. Istrinya bernama Swan Nio Ong yang dinikahinya pada tahun 1886.
Ia secara secara resmi diangkat menjadi Kapitein
der Chineezen Madioen atau Kapten Cina Madiun mengantikan Kapten sebelumnya
Sie Sio Djwan pada 22 Juni 1912. Bersamaan dengan itu diangkat pula Liem King
Jang sebagai Letnan Cina Madiun (Almanak, 1914). Sama seperti ayahnya, Njoo
Swie Lian juga memiliki perusahaan kayu yang bernama “Djatiehouthandel”.
Pada tahun 1907
Pemerintah Hindia-Belanda melalui perusahaan Staatspoor en Tramwegen (sekarang PT Kereta Api Indonesia) membuka
jalur kereta api dari Madiun menuju
Ponorogo. Jalur tersebut melewati Pecinan Madiun. Ada yang menarik dari
jalur tersebut. Sebelum memasuki Pecinan (dari arah Stasiun Madiun tentunya)
terdapat percabangan jalur pendek yang melewati Jalan Alun-alun selatan hingga
berhenti di ujung utara Jalan Kutilang (lihat kembali peta 1). Jelas
menimbulkan pertanyaan kenapa ada jalur kereta yang melewati depan Rumah Kapten
Cina?. Apakah jalur ini sengaja memang diminta oleh pihak keluarga agar mudah
berpergian.
Berdasarkan cerita
Bapak Saioen (88 Tahun), lingkungan sebelah barat Rumah Kapten Cina yang kini
menjadi pertokoan dahulu adalah Balokan. Balokan yang dimaksud adalah tempat
penumpukan dan pengolahan kayu atau stapelpaatsen.
Dengan demikian, fungsi utama dari jalur pendek tersebut adalah untuk
mengangkut kayu-kayu dari hutan kemudian diolah stapelplaatsen milik keluarga Njoo. Lewat jalur ini kayu-kayu yang
sudah dalam bentuk balok kemudian diangkut kembali untuk dipasarkan. Pada Jaman
Jepang jalur ini sempat dipanjangkan sampai kepada abbatoir atau rumah jagal. Fungsinya bukan untuk mengankut kayu
lagi melainkan untuk mengangkuti daging-daging dari rumah potong tersebut.
Potret Kapten Cina Madiun Njoo Swie Lian and Istrinya Ong Swan Nio
Njoo Swie Lian menjabat
sebagai opsir hingga akhir hayatnya. Ia meninggal di usia 55 tahun pada 17
Februari 1930 dan dimakamkan di Bongpay
Manguharjo (Het Nieuws van Den Dag,
24 Februari 1930). Ada kabar menyebutkan bahwa makam Njoo Swie Lian sudah
tergusur oleh proyek tangkis sungai Madiun. Upacara pemakamannya sempat
diabadikan dalam bentuk gambar bergerak. Bukti tersebut sampai sekarang menjadi
satu-satunya dokumentasi tempo dulu Madiun dalam bentuk video. Setelah Njoo
Swie Lian meninggal, Pemerintah Hindia-Belanda di Madiun sepertinya tidak lagi
menunjuk orang tionghoa di Madiun untuk menjadi Opsir. Njoo Swie Lian bisa
dikatakan sebagai Kapten China Madiun yang terakhir. Istrinya Swan Nio Ong meninggal
pada 14 November lima tahun setelah suaminya meninggal (De Indische Courant, 18 November 1935).
Het Nieuws van Den Dag, 24 Februari 1930. Iklan berita duka wafatnya Njoo Swie Lian
Beberapa anak Njoo Swie
Lian diketahui sempat menikah dengan sesama tionghoa dari kelas atas. Njoo Hong
Siang putra sulungnya menikahi Oei Oen Nio yang merupakan putri dari Raja Gula
dan Mayor Semarang Oei Tiong Ham. Perlu digaris bawahi Oei Tiong Ham sempat
mendirikan sebuah Pabrik Gula di Madiun bernama PG Rejoagung. Njoo Sien Nio
putrinya menikah dengan dengan Lie Djing Tjay yang diketahui sebagai pemilik PG
Baron, Nganjuk (Haryono, 2017: 129). Di Pemerintahan, putranya lagi yang bernama
Njoo Hong See sempat diangkat menjadi anggota Gemeenteraad Madioen (Dewan Kota Madiun) pada tahun 1928 (De
Indische Courant, 29 September 1928).
De Indische Courant, 18 November 1935. Iklan berita duka wafatnya Istri Njoo Swie Lian
Keluarga Njoo
meninggalkan sebuah rumah megah yang sampai sekarang masih kokoh berdiri.
Masyarakat kota madiun dahulu menyebut rumah ini dengan nama Rumah Chung Hua
Chung Hui (CHCH). Ada pula yang menyebutnya dengan nama Rumah Hong Boe
(Wawancara Bapak Saioen). Hong Boe juga merupakan anak dari Njoo Swie Lian yang
bernama lengkap Njoo Hong Boe. Tambahan informasi bahwa bangunan rumah ini
sempat pula dijadikan sebagai sekolah farmasi. Kapan rumah kapten cina madiun
ini dibangun masih belum diketahui. Menurut Handinoto, Opsir-opsir Tionghoa dan
sebagian pedagang yang menikmati hasil penjualan usaha mereka, menjadi sangat
kaya, sehingga menimbulkan golongan elite lokal, yang mampu membangun
rumah-rumahnya dengan gaya yang berbeda dengan rumah kuno di daerah Pecinan,
warisan leluhurnya. Sedikit mengingatkan kembali bahwa Njoo Kie Siong dan Njoo
Swie Lian adalah pengusaha kayu ternama di Karesidenan Madiun. Bisa jadi lewat
hasil kerja kerasnya mereka membangun rumah tersebut.
Ahli berpendapat bahwa Rumah
Kapten Cina Madiun ini berlanggam Victorian
yang tampak lebih cantik dan memberi kesan modern dengan pilar besi. Namun ada
pula yang berpendapat bahwa rumah tersebut berlanggam Indische Emipre. Kedua langgam tersebut popular abad ke-19, meski
demikian bukan berarti pembangunanya dilakukan pada abad tersebut. Besar
kemungkinan Rumah Kapten Cina dibangun awal abad ke-20 dengan dipengaruhi gaya
abad ke-19. Hingga tahun 2012 rumah ini masih menjadi milik keluarga Njoo namun
setelah itu telah berpindah tangan. Pada tahun 2017, Pemerintah Kota Madiun
melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga mengadakan
pendaftaran bangunan-bangunan bersejarah di Kota Madiun yang nantinya akan
ditetapkan menjadi cagar budaya. Ada 21 (dua puluh satu)obyek yang didaftarkan
dan salah satunya adalah Rumah Kapten China. Diharapkan selanjutnya Rumah
Kapten Cina ini bisa menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Kota Madiun.
Kunjungan Komunitas Historia van Maadioen di Rumah Kapten Cina Madiun 30 Juni 2019
Sumber Rujukan
De Indische
Courant, 29 September 1928, Gemeenteraad
De Indische Courant,
18 November 1935, (Iklan berita duka)
Handinoto, 1999. Lingkungan “Pecinan” Dalam Tata Ruang Kota
Di Jawa Pada Masa Kolonial. Dimensi
Teknik Sipil Vol. 27, No. 1, Juli 1999 : 20 – 29
_____________, Perkembangan Bangunan Etnis Tionghoa di
Indonesi (Akhir Abad ke 19 sampai tahun 1960 an).
Haryono, Steve. 2017. Perkawinan Strategis : Hubungan Keluarga Antara
Opsir-Opsir Tionghoa dan Cabang Atas di Jawa Pada Abab 19-20. Jakarta
Het Nieuws van
Den Dag, 24 Februari 1930, (Iklan berita duka)
Onghokham, 2017. Riwayat Tionghoa Peranakan Di Jawa.
Depok : Komunitas Bambu
Regering
Alamanak Voor Nederlandsch-Indie 1836, 1855, 1907 dan
1914.
Sejarah Klenteng Tridharma Hwie Ing Kiong
Wawancara Bapak Saioen, 88 tahun, Kelurahan
Pangongangan, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun
Kabupaten Madiun berdiri sejak tahun 1568. Waktu itu masih bernama Kadipaten Purabaya. Pusat pemerintahan pertama diyakini di Desa Sogaten. Bupati pertama tercatat dengan nama Pangeran Timur yang merupakan Putra Bungsu dari Sultan Trenggono. Dalam perkembanganya, pusat pemerintahan kabupaten Madiun sudah berkali-kali mengalami berpindah tempat. Sebab perpindahan tersebut tidak diketahui selain alasan kosmologis Jawa. Sebagaimana yang telah diketahui, banyak kota kerajaan di Jawa yang selalu berpindah setiap kali pergantian rezim (Hudiyanto, 2003). Adapun daerah-daerah yang pernah dijadikan pusat Pemerintahan Kabupaten Madiun adalah Sogaten (saat masih bernama Kadipaten Purabaya), Kuncen (Wonorejo (saat masih bernama Kadipaten Purabaya), Demangan (Wonosari), Kranggan, Maospati (Magetan), Pangongangan, dan yang baru saja Mejayan (Caruban).
Pendopo Kabupaten Madiun di Pangongangan (Dok. Pribadi)
Sebagai pusat pemerintahan kemudian dibangunlah sebuah bangunan permanen yang berfungsi sebagai pemerintahan dan tempat tinggal Bupati. Bangunan tersebut dinamai dengan Pendopo Kabupaten. Dari 6 daerah yang pernah dijadikan pusat pemerintahan (tidak termasuk Mejayan) dan dibangun pendopo, hanya 1 pendopo yang masih utuh yakni Pangongangan. Di Desa Sogaten yang tersisa sekarang tinggal umpak-umpak batu. Kranggan menjadi area sawah tapi masih bisa ditemui toponimi yang berhubungan dengan konsep alun-alun jawa seperti sawah alun-alun, puntuk sigit (diduga dari kata Mesigit atau Mesjid). Sedangkan yang lainya sudah hilang dan tidak dapat diketahui secara pasti lokasinya. Pusat pemerintahan di Pangongangan bertahan cukup lama diantara daerah lainnya. Secara administrasi Pendopo yang akan dibahas ini berlokasi di Kelurahan Pangongangan, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.
Pintu Masuk Ke Kompleks Pendopo Kabupaten Madiun di Pangongangan (Dok. Pribadi)
Pendopo Kabupaten Madiun di Pangongangan bernama resmi Pendopo Muda Grha. Putra Bupati Ronggo Prawiridirjo III (menjabat 1795 – 1810), Ronggo Prawirodiningrat (1822 – 1861) merupakan bupati pertama yang menempati Pendopo di Pangongangan. Hal ini dikarenakan Bupati Ronggo II (1784 – 1795) sampai Tumennggung Tirtoprojo (1820 – 1822) masih berkedudukan di Kranggan dan Maospati. Mengenai masa pembangunannya belum diketahui secara pasti. Namun, pembangunannya sudah rencanakan oleh Bupati Ronggo Prawirodirjo I (1755 – 1784). Bupati Wedana Mancanegara Timur yang saat itu berkedudukan di Kranggan berkeinginan membangun pendopo baru. Desa Taman sebenarnya ingin dijadikan pusat kabupaten selanjutnya namun usaha ini mengalami kegagalan karena desa tersebut hanya cocok untuk pesarehan atau pemakaman. Sang Bupati kemudian meminta nasihat para ahli nujum untuk menentukan lokasi yang baru. Dan lokasi yang didapat adalah lokasi pendopo sekarang ini. Sang Bupati kemudian melihat calon lokasi pendopo yang baru yang telah dianjurkan para ahli nujum. Pangongangan atau Pangongakan berasal dari kata Ngongak yang berarti melihat sesuatu. Untuk menentukan lokasi pendopo yang baru ahli nujum menjadikan Makam Nyai Ronje sebagai patokan (Adam, 1940 : 333). Peristiwa tersebut kemudian menjadi asal-usul Desa Pangongangan. Makam Nyai Ronje masih ada hingga sekarang dan merupakan punden desa bagi warga Panggongangan sehingga setiap bulan suro sering diadakan upacara bersih desa. Tokoh ini dipercaya sebagai pembabat tanah Pangongangan ini.
Punden Njai Ronje (Dok. Pribadi)
Pada tahun 1836, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Dominique Jacques de Eerens (1835-1839) sempat berkunjung ke Madiun yang kemudian dijamu oleh Bupati Ronggo Prawiradiningrat di pendopo yang megah. Dari laporan perjalanannya dikatakan, Kabupaten Madiun dibangun dan ditata sesuai dengan selera eropa yaitu sejumlah bangunan terbuat dari batu (TNI, 1859 : 470, Onghokham, 2018 : 133). Itulah sebabnya kenapa arsitektur bangunan Pendopo Kabupeten Madiun di Pangongangan merupakan perpaduan gaya jawa dan eropa. Sentuhan gaya Eropa nampak pada bangunan utamanya dengan pemakaian pilar-pilar yunani layaknya seperti rumah resident. Hal tersebut kemudian berimbas pada bangunan-bangunan yang berada di Kompleks Pendopo Kabupaten.
Kondisi Pendopo Kabupaten Madiun di Pangongangan dari peta Hoofdplaats Madioen 1917 (KITLV) yang telah dimodifkasi dengan keterangan dari denah B.O.W tahun 1926
Tahun 1926 Burgelijke Openbare Werken (B.O.W) (Dinas PU-nya Hindia Belanda) membuat denah keseluruhan kompleks Pendopo Kabupaten Madiun dengan total luas 3900 m2. Denah tersebut dapat dilihat di Buku Madiun : Sejarah Politik & Transformasi Kepemerintahan dari abab XIV hingga awal abab XXI yang disusun Tim Fakultas ilmu Budaya UGM dengan Pemerintah Kabupten Madiun halaman 253-254. Berdasarkan denah terdapat bangunan-bangunan pendukung Pendopo Kabupaten Madiun yang berupa penjara kabupaten, peseban, panggung, kantor persoenel, ruang gamelan, ruang mobil tempat/kandang kuda serta kantor kabupaten (Regentschapskantoor) (lihat peta). Penjara kabupaten berada disebelah timur. Penjara ini diketahui pernah digunakan mengajar bagi murid-murid organisasi Wiloetomo yang merupakan cikal-bakal Vereniging Madioensche Kartinischool (________, 1938 : 16). Paseban berada ditengah-tengah kompleks, tempat ini digunakan sebagai “ruang tunggu” para tamu sebelum menghadap bupati. Panggung berada dekat dengan alun-alun yang berfungsi sebagai tempat bupati untuk memantau atau melihat para prajurit berbaris di alun-alun. Keberadaan Panggung yang kemudian membuat sekolah disebelahnya kemudian lebih dikenal dengan SD Panggung (SDN 01 Pangongangan). Kemudian Kantor Kabupaten atau Regentschapskantoor juga berada dekat dengan alun-alun samping bioskop Apollo (arjuno).
Pembangunan gedung Regentschapkantor ternyata memilki kisah kelam didalamnya. Kisah kelam itu bukan adanya korban waktu pembangunan melainkan adanya korupsi. Biaya yang dianggarkan pada gedung yang dibangun akhir tahun 1928 ini adalah f 24.200 atau sekitar f 33 per m2 (F= Florin, simbol mata uang belanda, Gulden). Ternyata terjadi pembengkakan anggaran dengan biaya tambahan sebesar f 20.450. Nilai bangunan per meter persegi menjadi sekitar f 46,50. Biaya tambahan dipakai untuk platfon gribik susun dan untuk Jendela model Vlaams (Margana, dkk,2017 : 254).
Saat diadakan proses audit dan pengecekan, diditemukan adanya banyak material yang tidak memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Misalnya, kayu-kayu yang tiang dan blandar yang ternyata harganya lebih murah daripada apa yang ditentukan dianggaran. Temuan ini berbuntut proses investigasi atas pengunaan anggaran. R. Soeradji yang merupakan pemborong lapangan proyek tersebut harus menghadapapi tim investagasi dan pemeriksaan intensif. Belum diketahui sejauh apa kasus ini, dan apakah pemborong utama proyek, seorang insinyur belanda juga ikut diperiksa (Margana, dkk,2017 : 254).
Regentschaapkantoor Madioen
Patung pengambaran sosok Retno Ayu Djumillah menjadi pembatas antara halaman depan dan belakang sekaligus patung penyambut para tamu yang ingin masuk ke pendopo. Patung ini dibangun pada tahun 2005 pada masa Bupati Djunaidi Mahendra. Di Pendopo terdapat pula 2 buah meriam kecil merupakan tinggalan bupati-bupati terdahulu. Bagian belakang pendopo berupa teras dan pekarangan yang luas. Pekarangan belakang pendopo layaknya sebuah kebun raya yang terdapat beberapa tumbuhan dan hewan-hewan peliharaan seperti kijang, dan ayam jago. Selain itu juga juga dapat kita temui beberapa tinggalan purbakala yang berupa jaladwara.
Meski telah mengalami beberapa kali renovasi, bentuk asli pendopo Kabupaten masih terjaga. Pada tahun 1918, Bupati R.H Tumenggung Kusnodiningrat melakukan renovasi bagian dinding dan tiangnya. Semula dindingnya berupa kayu di ganti dengan tembok. Satu tiang diantaranya digunakan sebagai tetenger yang didalamnya disimpan sebuah tombak pusaka. Bupati Drs. H. Bambang Koesbandono (1983-1988) membangun prasasti nama-nama bupati dari masa-masa. Kawasan pendopo pun diperindah dengan pagar dan beberapa pot tanaman hias serta perbaikan saluran air. Bupati pengantinya yakni Ir. H.S Kadiono merehap ruangan dalam pendopo serta tanaman dan halaman belakang. Selain itu halaman depan juga diaspal dan di bagian pendoponya sendiri diperindah dengan ornament kayu tiang dan balok pendopo. Kemudian pada masa Bupati Djunaedi Mahendra, SH, MSi, dipasang mahkota di pada bagian atap pendopo. Lantai diganti marmer, halaman depan dibangun gazebo dan termasuk juga pembangunan patung pahlawan perempuan (Suko Widodo dkk, 2005 : 136-137).
Pendopo Kabupaten Madiun tahun 1930 (Sumber Foto; KITLV)
Pada tahun 2003 Raja Surakarta, Paku Buwono XII berkenan hadir mengunjungi Pemerintahan Kabupaten Madiun. Sang raja juga menyempatkan untuk pertama kali masuk ke Pendopo Kabupaten Madiun . Kunjungan saat itu bersamaan dengan agenda pameran pusaka yang diadakan dalam rangka hari jadi Kabupaten Madiun (Suko Widodo dkk, 2005 :158-159). Perlu diketahui juga Pemerintah Kabupaten Madiun juga menyimpan puluhan senjata pusaka, seperti Keris, tombak dan Pataka. Ada 5 pusaka yang memiliki nilai sejarah tinggi, yakni Keris Kyai Kala Gumarang, Keris Baledono, Tombak Kyai Balabar, Tombak Kyai Singkir dan Teken Wesi Towo. Setiap tahunya di bulan Sura pusaka-pusaka ini dikeluarkan dan dijamas.
Pada tanggal 27 Agustus 2014, secara simbolis Pemerintahan Kabupaten Madiun melakukan boyongan ke Mejayan dengan sebuah upacara sakral dan kirab budaya. Kirab boyongan yang mengusung tema Kadipaten Madiun masa lampau ini, diikuti sebanyak 36 kereta kencana 25 pasukan berkuda serta puluhan rombongan mobil pick up hias. Kirab ini dimulai dari pembacaan doa, penyerahan pataka kabupaten Madiun dan tombak Pusaka Kyai Balabar dari 3 mantan Bupati (S. Kadiono, Bambang Kusbandono dan Djunaedi Mahendra) dan diserahkan ke Bupati Madiun, Muhtarom (Margana dkk, 2017 : 378). Perpindahan ini mengakhiri pemerintahan kabupaten Madiun yang berpusat di Kelurahan Pangongangan, Kota Madiun yang sudah bertahan selama kurang lebih 190 tahun. Terhitung dari masa Bupati Ronggo Prawirodiningrat (1820) hingga Bupati Muhtarom (2014). Bupati Muhtarom menjadi bupati terakhir di pendopo panggongan, sekaligus Bupati pertama di Pendopo baru Mejayan. Perpindahan ini sebenarnya sudah mulai dirintis pada masa Bupati Drs. H. Bambang Koesbandono namun baru terlaksana tahun 2014. Perpindahan ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 52 tahun 2010 tentang pemindahan Ibu Kota Kabupaten Madiun dari wilayah Kota Madiun ke wilayah Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, Provinsi Jawa Timur yang ditanda tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Semenjak Ibukota kabupaten melakukan “boyong kedaton” ke Mejayan. Pemerintah Kabupaten Madiun secara otomatis membuat pendopo baru di Mejayan. Sedangkan Pendopo yang ada di Kota madiun kini fungsinya menjadi rumah dinas bupati. Namun yang agak disayangkan Pendopo Kabupaten Madiun ini jarang di buka untuk umum. Pendopo Kabupaten Madiun hanya bisa dikunjungi secara umum jika ada suatu kegiatan yang berizin. Alangkah lebih bagusnya jika pendopo kabupaten ini dibuka umum di hari tertentu, misalnya sabtu dan minggu. Tujuanya tentu sebagai tambahan obyek wisata sejarah menginggat pendopo ini berlokasi di pusat keramaian dan pusat kota Madiun. Selain itu, semua masyarakat baik Madiun maupun luar madiun mengerti dan melestarikan Sejarah Kabupaten Madiun lewat berkunjung ke bangunan sejarah termasuk pendopo. Terakhir yang tidak kalah penting dan sebagai penutup adalah untuk pelestarianya adalah harus ditetapkan sebagai cagar budaya.
Sumber Rujukan :
__________, 1938. Jubileum-Verslag Uitgegeven Ter Gelegenheid Van Het 25-Jarig Bestaan Der Vereeniging Kartinifondste ’S-Gravenhage 1913-1938. ’S-Gravenhage
Adam, Dr. L. 1938. Geschiedkundige Aanteekeningen Omtrent De Residentie Madioen : V. Het Tijdvak Van De Mohammedaansche Rijken Van De Demaksche Overheersching Tot De „Palihan” (± 1518 Tot 1755). Djåwå.
Hudiyanto, Reza. 2002. Pemerintahan Kota Madiun 1918-1941. Tesis Program Studi Sejarah, Fakultas ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
Margana, Sri, dkk, 2017. Madiun : Sejarah Politik & Tranformasi Kepemerintahan dari Abad XIV hingga Awal Abad XXI. Madiun : Pemerintah Kabupaten Madiun bekerja sama dengan Dep. Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
Onghokham, 2018. Madiun dalam Kemelut Sejarah : Priyayi dan Petani di Karesidenan Madiun Abab XIX. Jakarta : KPG
Suko Widodo, dkk. 2005. Menelusuri Jejak Masa Lalu : Sekilas Sejarah Kabupaten Madiun. Madiun : Pemerintah Kabupaten Madiun bekerja sama dengan Puskakom Surabaya.
Van Hoevel, Dr. W.R. 1859. Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie XXII Deel I. Zat- Bommel : Joh Noman & Zoon
Gemeente atau Kota Madiun dibentuk oleh Belanda pada 18 Juni 1918. Akan tetapi saat dibentuk Gemeente Madiun tidak langsung memiliki Burgemeester atau walikota. Sampai dengan tahun 1928, pucuk Pimpinan Gemeente Madiun diduduki oleh Asisten Resident yang bernama W.M. Ingenluuyf kemudian dilanjutkan oleh G.H. De Maand. Keduanya bertindak sebagai Voorzitter van de Gemeenteraad (Ketua Dewan Kota). Gemeente Madiun baru memiliki Burgemeester pada tahun 1928. Roeloef Adrian Schotman adalah seorang mantan Walikota Chirebon ditunjuk kembali oleh Gubernur Jendral Hindia-Belanda untuk mengisi jabatan Walikota pertama Madiun. Ia diangkat menjadi Walikota bersama 12 nama lain yang menduduki jabatan yang sama. 12 Nama itu adalah F. E. Meyer sebagai Walikota Probolinggo, L. van Dijk sebagai Walikota Mojokerto, H. E. Boissevain sebagai Walikota Pasuruan, J.H. Boestra sebagai Walikota Blitar, J. M. Lakeman sebagai Walikota pekalongan, J. M. van Oostrom Soede sebagai Walikota Cirebon, W. M. Ouwerkerk sebagai Walikota Padang, A.L.A. van Unen sebagai Walikota Salatiga, F. H. van de Wetering sebagai Walikota Menado, D. J. Spanjaard sebagai Walikota Tegal, ir. E.A. Voorneman sebagai Walikota Magelang, dan L. K. Wennekendonk sebagai Walikota Kediri (De Indische Courant, 30 Oktober 1928). 2 diantara ke 12 nama tersebut J.H. Boestra dan L. van Dijk yang kemudian menjadi walikota kedua dan ketiga Gemeente Madiun.
Pada 19 November 1928 bertempat di Rumah Resident Madiun, R.A. Schotman secara resmi dilantik dan diperkenalan menjadi walikota pertama Gemeente Madiun oleh Residen Madiun H.C. Van Den Bos (De Indische Courant, 21 November 1928). Schotman lahir 30 Januari 1878 di Utrecht, Negeri Belanda dari pasangan Gerrit Jan Schotman (1850-1879) dan Adriana de Meijer (1846-?) (https://www.genealogieonline.nl). Ia merupakan seseorang yang sangat rajin dan banyak inisiatif. Tingginya daya kreatifitas ini membuat dewan sering “mengeremnya” (Hudiyanto, 2003 : 73).
Pada masa pemerintahannya, proyek pembangunan balai kota yang seharusnya dibangun pada tahun 1919 baru bisa dibangun di tahun 1929. Pembangunanya pun mengalami pemindahan lokasi yaitu dari Schoollan (sekarang Jalan Sumatra) kemudian ke Residentslaan (sekarang Jalan Pahlawan) (Bataviaasch Nieuwsblaad , 12 Agustus 1919 & Local Techniek, 1933 : 4-9). Schotman bersama Nyonya E.L.E Van den Bos (Istri Residen Madiun) diberi kehormatan untuk meletakan batu pertama pembangunan Balai Kota Pada 30 November 1929. Menurut R.A Schotman, pembangunan Balai Kota ini diharapkan menjadi tonggak sejarah baru bagi pembangunan Gemeente Madiun (De Indische Courant, 3 Desember 1929). Ia pun menjadi walikota pertama yang berkantor di Balai Kota. Selain Balaikota, di masa pemerintahanya dibangun pula Gemeente Schouwburg (sekarang ditempati Lawu Plaza), dua Jalan Tembus yang salah satunya diberinama Raadhuislaan karena berada disamping Balai Kota (Raadhuis) serta berbagai infrastruktur lainya, bahkan Arsitek terkenal Ir. Thomas Karsten pun juga dikontrak selama dua tahun 1929-1930 sebagai penasehat tata kota untuk membantu pengembangan dan perluasan Gemeente Madiun (25 Jaren Decentralisatie In Nederlandsche Indie)
Schotman resmi mengundurkan diri sebagai walikota Madiun tahun 1933 dan digantikan oleh J.H. Boerstra yang sebelumnya menjabat sebagai walikota Blitar. Sebelum terjun ke dunia politik ternyata Schotman awalnya adalah seorang pengajar (Onderwijzer). Rentang 1896-1899 ia merupakan pengajar sekolah tempat kelahiranya dan di Brummer. Pada tahun 1900, Schotman datang ke Hindia-Belanda dimana ia kemudian menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah di Batavia. Karier politik di Hindia-Belanda dimulai ketika ia menjadi anggota dewan di Batavia yang kemudian pada tahun 1921 ditunjuk sebagai walikota acting Batavia. Baru pada tahun 1925 ditunjuk menjadi walikota Chirebon. Selepas pensiun menjadi walikota Madiun, Ia kemudian menjadi ketua dari Nederlands Indische Plantersbond. Pada tahun 1941 Dia mengunjungi Amerika Serikat Konferensi Buruh Internasional. Dalam perjalanan kembali ke Jawa, ia sempat terdampar di Pulau Midway dimana saat itu terjadi serangan di Pearl Harbor. Dia melihat banyak serangan udara Jepang dan tiga minggu kemudian berhasil melarikan diri dari pulau dan kembali ke Hawaii (Geneva Daily Times, 3 April 1945). Pada 10 November 1963 Schotman meninggal dunia di New York, Amerika Serikat dalam usia 85 tahun.
Jalan Kaswari yang terletak di Kelurahan Nambangan Kidul, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun sempat dikenal sebagai tempat prostitusi. Kondisi itu tidak berlangsung lama, karena pemerintah memindahkannya ke tempat lain. Meski sempat memiliki kondisi seperti itu, ternyata jalan ini diam-diam menyimpan cerita sejarah yang bisa dikatakan luar biasa. Warga Jalan Kaswari sendiri menyebutnya lingkungan tempat tinggalnya dengan nama Gang Pesantren. Jika nama Jalan Kaswari diambil dari nama jenis burung yang hidup di tanah Papua dan Australia, Bagaimana dengan Gang Pesantren? Apakah dilingkungan ini dahulu pernah terdapat sebuah Pesantren.
Berdasarkan cerita lisan dari masyarakat Jalan Kaswari dahulu dilingkungan ini pernah hidup seorang ulama yang bernama KH. Sari Muhamad. Keterangan ini kemudian diperkuat oleh keluarga keturunannya langsung. KH. Sari Muhamad adalah tokoh alim ulama yang berasal dari Pagotan yang kemudian tinggal di Jambewangen, Desa Nambangan Kidul. Jambewangen merupakan nama padukuhan atau lingkungan dimana Jalan Kaswari ini berada. Jambewangen dipercayai merupakan nama seorang patih yang bernama asli Ki Ageng Jambe Wangen. Lanjutkan membaca “Gang Pesantren”
Kerkhof berasal dari kata dalam bahasa belanda (kerk = gereja, hof = disebut kuburan) yang berarti kuburan yang berada di halaman gereja. Konsep tersebut merupakan hal yang umum ditemukan di Eropa, khususnya pada abad pertengahan. Di Inggris kuburan di halaman gereja disebut dengan churchyard. Menurut Mike Parker Pearson (1999) dalam The Archaeology ofDeath and Burials, church atau gereja dan churchyards (gereja-makam) di Eropa, khususnya di Inggris merupakan bangunan yang dianggap penting, suci, dan mempunyai pengaruh yang kuat sekaligus sebagai pembeda kelas sosial. Pada abad ke-17 sampai dengan awal abad ke-19 M, churchyard semakin penuh dengan kuburan keluarga sehingga dibuatlah permakaman baru. Berbeda di Inggris yang sebagian masih mempertahankan kuburan-gereja (churchyards) di Amerika pada abad ke-20 kuburan-kuburan di dekat gereja sudah dilarang[2].
Di Indonesia terdapat beberapa kerkhof (gereja dengan kuburan), misalnya di gereja Sion (1693 M), denieuwe Hollandsche Kerk (Museum Wayang Jakarta) 1640 M, dan Gereja Sion di Tomohon (1831 M), Sulawesi Utara[3]. Tahun 1795 Pemerintah Belanda melarang pemakaman di area gereja. Alasanya adalah karena menurut Pemerintah Belanda, memakamkan orang di halaman gereja tidak baik untuk kesehatan jemaat gereja[4]. Nama kerkhof kemudian menjadi (area) kuburan saja dan tidak selalu berhubungan atau dekat dengan keberadaan gereja atau yang mengacu pada kuburan atau makam orang-orang asing atau Eropa saja. Di beberapa kerkhof seperti di Bandung ditemukan pula kuburan orang-orang Cina[5].
Sekilas Kerkhof Madiun.
Belanda berhasil menguasai Madiun setelah perang diponegoro atau tepatnya tahun 1830. Setelah itu pula Belanda mulai melakukan perancangan penyusunan pemerintahan, tata kota serta pembangunan. Pemerintahan Karesidenan Madiun dibentuk, kemudian bangunan pendukung pemerintahan karesidenan didirikan. Orang-orang eropa pun mulai berdatangan ke Madiun dan membuat pemukiman yang terpusat dan berkembang disebelah utara pendopo kabupaten Madiun. Dalam hal tempat peristirahatan terakhir, orang-orang eropa memilih lokasinya berada dukuh djuritan, desa Madiun Lor atau tepat berada disebelah utara dukuh djuritan dan timur bantaran sungai Madiun. Lanjutkan membaca “Kerkhof Madiun dan Mary Manuel”
Sebagian besar warga Madiun lebih mengenal nama Tugu sebagai nama sebuah perempatan yang menjadi titik temu tiga jalan raya yakni Jalan Panglima Sudirman, Jalan Pahlawan dan Jalan HOS Cokroaminoto. Jika ditanyai soal asal-usulnya banyak yang tidak mengentahui namun ada juga menjawab pasti dahulu ada tugunya entah itu posisinya dimana dan bentuknya seperti apa. Dalam kamus bahasa Indonesia tugu adalah tiang besar dan tinggi yang dibuat dari batu, bata, dan sebagainya. Dari pengertian tersebut dapat memunculkan pertanyaan mengenai asal-usul nama Tugu Madiun seperti, apakah dahulu memang terdapat sebuah tugu, seperti apa bentuknya dan dimana lokasinya?
Perempatan Tugu diambil dari arah Toko Sepatu Manies (Dok. Pribadi)
Dahulu Jalan Pahlawan Kota Madiun memiliki tiga nama dari tiga masa berbeda. Pertama, Pada masa kolonial bernama Residentslaan. Dinamakan demikian karena di Jalan ini terdapat Rumah sebagai tempat tinggal Resident Madiun. Rumah Residen ini dibangun pada tahun 1831 dan merupakan loji pertama Belanda di Madiun. Langgam bangunannya adalah Indische Empire. Sebuah gaya arsitektur yang popular pada abab ke-19 dengan salah satu cirinya yakni penyangga teras khas pilar yunani. Residen pertama Madiun diketahui bernama Loudewijk Launy (1830-1838). Bangunan berlokasi di depan Taman Makam Pahlawan ini sekarang dijadikan sebagai Rumah Dinas Barkorwil Madiun (Badan Koordinasi Wilayah Madiun). Sebuah badan yang fungsinya sama dengan karesidenan.
Resident Laan, pada potongan Peta Hoofdplaats Madioen tahun 1917 yang telah dimodifikasi,