Sebuah rumah megah nan indah bergaya kolonial yang berada di sebelah selatan alun-alun kota masih kokoh berdiri hingga sekarang. “Woning Kapitein Chinees” bergitulah keterangan yang tertera dalam peta Hoofdplaats Madioen 1917 (lihat peta 1). Woning Kapitein Chinees merupakan tempat tinggal Kapten Cina Madiun. Kapten Cina merupakan jabatan non-militer yang diberikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk memimpin masyarakat tionghoa yang ada di wilayahnya atau bisa disebut Pecinan.

Sebelum membahas tentang siapakah Kapten Cina Madiun terlebih dahulu sedikit akan menjelaskan tentang Pecinan Madiun?. Lokasi pecinan di Kota Madiun terkonsentrasi di selatan alun-alun. Keberadaan mereka di Madiun sudah ada jauh sebelum kedatangan orang-orang eropa. Mereka kemungkinan hidup membaur dengan penduduk lokal. Setelah Belanda menguasai sebagian nusantara kemudian pada tahun 1782 mengeluarkan undang-undang yang mengatur etnik yang disebut “wijkenstelsel”. Undang-undang ini mengharuskan etnik-etnik yang ada di suatu daerah untuk tinggal didaerah atau wilayah yang telah ditentukan didalam kota. Misalnya orang Tionghoa harus tingal di Pecinan, yang tinggal diluar Pecinan harus pindah kedalam wilayahnya sendiri yang telah ditentukan (Handinoto, 1999 : 24). Tujuanya adalah agar mudah diawasi serta mudah dilindungi. Namun dalam stadsblaad tahun 1835 No. 37 tujuan pemisahan Pecinan adalah untuk menghindari bercampurnya dengan bangsa lain di Jawa (Onghokham, 2017 : 32-33).

Wijkenstelsel inilah yang kemudian melatar belakangi terbentuknya sebuah Pecinan. Untuk memudahkan pengontrolan atas daerah ini pemerintah Belanda menunjuk pemuka-pemuka tionghoa untuk mengepalai daerah ini. Pemimpin ini diberinama Mayor, Kapten dan Letnan atau dengan kata lain opsir Tionghoa (Handinoto, 1999 ; 24). Perlu diketahui Belanda baru bisa menguasai wilayah Madiun pada tahun 1831 atau setelah Perang Diponegoro yang dahsyat. Pada tahun 1835, L. Launij selaku residen pertama Madiun (menjabat 1831-1838) mengangkat seorang tionghoa bernama Tan Ting Kiauw untuk menjadi opsir. Namun jabatanya bukan Kapten melainkan Letnan. Menariknya, Tan Ting Kiauw kemudian naik pangkat menjadi Kapten pada masa Residen Antonij Rutering (1854-1858) (Almanak, 1836 & 1855). Dengan demikian, Tan Ting Kiauw adalah Letnan sekaligus Kapten China Madiun yang pertama.
Lalu siapakah nama Kapiten China Madiun yang sempat menempati rumah yang beralamat di Jalan Kolonel Marhadi, Kota Madiun tersebut?. Rumah tersebut ditempati oleh orang tionghoa yang bermarga Njoo. Leluhur keluarga Njoo di Madiun adalah Njoo Tjwan yang diperkirakan datang ke Pulau Jawa sekitar 1820-an. Njoo Tjwan mempunyai anak bernama Njoo Bing Thwan yang kemudian mulai menetap di Madiun. Njoo Bing Thwan diketahui dimakamkan Djosenan, namun sayang bongpay Djosenan kini telah rata dengan tanah. Njoo Bing Thwan mempunyai 4 orang anak bernama Njoo Kie Siong, Njoo Kie Sien, Njoo Kie San, dan Njoo Bien Nio. Salah satu putranya yang bernama Njoo Kie Siong merupakan orang tionghoa termana di Madiun. Ia dikenal banyak berjasa dan membantu orang-orang miskin, sehingga sekitar tahun 1910 diberi perhargaan oleh Pemerintah Hindia-Belanda (Haryono, 2017: 129). Bersama Njoo Kie Sien, Njoo Kie Siong juga berjasa dalam pembangunan baru Klenteng Tri Dharma Hwie Ing Kiong di Jalan HOS Cokroaminoto. Perlu diketahui, Klenteng Madiun konon dahulunya berada di tepi barat sungai Madiun. Berkat bantuan dari Residen Madiun, klenteng baru dibangun dilokasi sekarang ini dan pembangunannya memerlukan waktu 10 tahun 1887 hingga 1897.

Njoo Kie Siong memiliki sebuah perusahaan kayu bernama “Houthandel Njoo Kie Siong”. Area hutan di Gemarang, Kedung Dawung, Nampu (Distrik Kanigoro), Pajaran, Jatiketok (Distrik Caruban) serta Banyubiru dan Begal (Distrik Gendingan) diketahui merupakan milik dari Njoo Kie Siong (Almanak, 1907). Meski menjadi orang kaya dan dikenal oleh masyarakat tionghoa Madiun. Njoo Kie Siong tidak diangkat menjadi menjadi opsir tionghoa. Putra Sulungnya bernama Njoo Swie Lian-lah yang kemudian diangkat menjadi opsir tionghoa Madiun (Haryono, 2017: 129).
Njoo Swie Lian lahir pada tahun 1871. Istrinya bernama Swan Nio Ong yang dinikahinya pada tahun 1886. Ia secara secara resmi diangkat menjadi Kapitein der Chineezen Madioen atau Kapten Cina Madiun mengantikan Kapten sebelumnya Sie Sio Djwan pada 22 Juni 1912. Bersamaan dengan itu diangkat pula Liem King Jang sebagai Letnan Cina Madiun (Almanak, 1914). Sama seperti ayahnya, Njoo Swie Lian juga memiliki perusahaan kayu yang bernama “Djatiehouthandel”.
Pada tahun 1907 Pemerintah Hindia-Belanda melalui perusahaan Staatspoor en Tramwegen (sekarang PT Kereta Api Indonesia) membuka jalur kereta api dari Madiun menuju Ponorogo. Jalur tersebut melewati Pecinan Madiun. Ada yang menarik dari jalur tersebut. Sebelum memasuki Pecinan (dari arah Stasiun Madiun tentunya) terdapat percabangan jalur pendek yang melewati Jalan Alun-alun selatan hingga berhenti di ujung utara Jalan Kutilang (lihat kembali peta 1). Jelas menimbulkan pertanyaan kenapa ada jalur kereta yang melewati depan Rumah Kapten Cina?. Apakah jalur ini sengaja memang diminta oleh pihak keluarga agar mudah berpergian.
Berdasarkan cerita Bapak Saioen (88 Tahun), lingkungan sebelah barat Rumah Kapten Cina yang kini menjadi pertokoan dahulu adalah Balokan. Balokan yang dimaksud adalah tempat penumpukan dan pengolahan kayu atau stapelpaatsen. Dengan demikian, fungsi utama dari jalur pendek tersebut adalah untuk mengangkut kayu-kayu dari hutan kemudian diolah stapelplaatsen milik keluarga Njoo. Lewat jalur ini kayu-kayu yang sudah dalam bentuk balok kemudian diangkut kembali untuk dipasarkan. Pada Jaman Jepang jalur ini sempat dipanjangkan sampai kepada abbatoir atau rumah jagal. Fungsinya bukan untuk mengankut kayu lagi melainkan untuk mengangkuti daging-daging dari rumah potong tersebut.

Njoo Swie Lian menjabat sebagai opsir hingga akhir hayatnya. Ia meninggal di usia 55 tahun pada 17 Februari 1930 dan dimakamkan di Bongpay Manguharjo (Het Nieuws van Den Dag, 24 Februari 1930). Ada kabar menyebutkan bahwa makam Njoo Swie Lian sudah tergusur oleh proyek tangkis sungai Madiun. Upacara pemakamannya sempat diabadikan dalam bentuk gambar bergerak. Bukti tersebut sampai sekarang menjadi satu-satunya dokumentasi tempo dulu Madiun dalam bentuk video. Setelah Njoo Swie Lian meninggal, Pemerintah Hindia-Belanda di Madiun sepertinya tidak lagi menunjuk orang tionghoa di Madiun untuk menjadi Opsir. Njoo Swie Lian bisa dikatakan sebagai Kapten China Madiun yang terakhir. Istrinya Swan Nio Ong meninggal pada 14 November lima tahun setelah suaminya meninggal (De Indische Courant, 18 November 1935).

Beberapa anak Njoo Swie Lian diketahui sempat menikah dengan sesama tionghoa dari kelas atas. Njoo Hong Siang putra sulungnya menikahi Oei Oen Nio yang merupakan putri dari Raja Gula dan Mayor Semarang Oei Tiong Ham. Perlu digaris bawahi Oei Tiong Ham sempat mendirikan sebuah Pabrik Gula di Madiun bernama PG Rejoagung. Njoo Sien Nio putrinya menikah dengan dengan Lie Djing Tjay yang diketahui sebagai pemilik PG Baron, Nganjuk (Haryono, 2017: 129). Di Pemerintahan, putranya lagi yang bernama Njoo Hong See sempat diangkat menjadi anggota Gemeenteraad Madioen (Dewan Kota Madiun) pada tahun 1928 (De Indische Courant, 29 September 1928).

Keluarga Njoo meninggalkan sebuah rumah megah yang sampai sekarang masih kokoh berdiri. Masyarakat kota madiun dahulu menyebut rumah ini dengan nama Rumah Chung Hua Chung Hui (CHCH). Ada pula yang menyebutnya dengan nama Rumah Hong Boe (Wawancara Bapak Saioen). Hong Boe juga merupakan anak dari Njoo Swie Lian yang bernama lengkap Njoo Hong Boe. Tambahan informasi bahwa bangunan rumah ini sempat pula dijadikan sebagai sekolah farmasi. Kapan rumah kapten cina madiun ini dibangun masih belum diketahui. Menurut Handinoto, Opsir-opsir Tionghoa dan sebagian pedagang yang menikmati hasil penjualan usaha mereka, menjadi sangat kaya, sehingga menimbulkan golongan elite lokal, yang mampu membangun rumah-rumahnya dengan gaya yang berbeda dengan rumah kuno di daerah Pecinan, warisan leluhurnya. Sedikit mengingatkan kembali bahwa Njoo Kie Siong dan Njoo Swie Lian adalah pengusaha kayu ternama di Karesidenan Madiun. Bisa jadi lewat hasil kerja kerasnya mereka membangun rumah tersebut.
Ahli berpendapat bahwa Rumah Kapten Cina Madiun ini berlanggam Victorian yang tampak lebih cantik dan memberi kesan modern dengan pilar besi. Namun ada pula yang berpendapat bahwa rumah tersebut berlanggam Indische Emipre. Kedua langgam tersebut popular abad ke-19, meski demikian bukan berarti pembangunanya dilakukan pada abad tersebut. Besar kemungkinan Rumah Kapten Cina dibangun awal abad ke-20 dengan dipengaruhi gaya abad ke-19. Hingga tahun 2012 rumah ini masih menjadi milik keluarga Njoo namun setelah itu telah berpindah tangan. Pada tahun 2017, Pemerintah Kota Madiun melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga mengadakan pendaftaran bangunan-bangunan bersejarah di Kota Madiun yang nantinya akan ditetapkan menjadi cagar budaya. Ada 21 (dua puluh satu)obyek yang didaftarkan dan salah satunya adalah Rumah Kapten China. Diharapkan selanjutnya Rumah Kapten Cina ini bisa menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Kota Madiun.

Sumber Rujukan
De Indische Courant, 29 September 1928, Gemeenteraad
De Indische Courant, 18 November 1935, (Iklan berita duka)
Handinoto, 1999. Lingkungan “Pecinan” Dalam Tata Ruang Kota Di Jawa Pada Masa Kolonial. Dimensi Teknik Sipil Vol. 27, No. 1, Juli 1999 : 20 – 29
_____________, Perkembangan Bangunan Etnis Tionghoa di Indonesi (Akhir Abad ke 19 sampai tahun 1960 an).
Haryono, Steve. 2017. Perkawinan Strategis : Hubungan Keluarga Antara Opsir-Opsir Tionghoa dan Cabang Atas di Jawa Pada Abab 19-20. Jakarta
Het Nieuws van Den Dag, 24 Februari 1930, (Iklan berita duka)
Onghokham, 2017. Riwayat Tionghoa Peranakan Di Jawa. Depok : Komunitas Bambu
Regering Alamanak Voor Nederlandsch-Indie 1836, 1855, 1907 dan 1914.
Sejarah Klenteng Tridharma Hwie Ing Kiong
Wawancara Bapak Saioen, 88 tahun, Kelurahan Pangongangan, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun