Jalan Kaswari yang terletak di Kelurahan Nambangan Kidul, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun sempat dikenal sebagai tempat prostitusi. Kondisi itu tidak berlangsung lama, karena pemerintah memindahkannya ke tempat lain. Meski sempat memiliki kondisi seperti itu, ternyata jalan ini diam-diam menyimpan cerita sejarah yang bisa dikatakan luar biasa. Warga Jalan Kaswari sendiri menyebutnya lingkungan tempat tinggalnya dengan nama Gang Pesantren. Jika nama Jalan Kaswari diambil dari nama jenis burung yang hidup di tanah Papua dan Australia, Bagaimana dengan Gang Pesantren? Apakah dilingkungan ini dahulu pernah terdapat sebuah Pesantren.
Berdasarkan cerita lisan dari masyarakat Jalan Kaswari dahulu dilingkungan ini pernah hidup seorang ulama yang bernama KH. Sari Muhamad. Keterangan ini kemudian diperkuat oleh keluarga keturunannya langsung. KH. Sari Muhamad adalah tokoh alim ulama yang berasal dari Pagotan yang kemudian tinggal di Jambewangen, Desa Nambangan Kidul. Jambewangen merupakan nama padukuhan atau lingkungan dimana Jalan Kaswari ini berada. Jambewangen dipercayai merupakan nama seorang patih yang bernama asli Ki Ageng Jambe Wangen.

KH. Sari Muhamad yang meninggal pada tahun 1937 diperkirakan hidup pada masa bupati Madiun Ario Brotodiningrat (1885 – 1900) hingga Ronggo Kusmen (1929 – 1937). Selain sebagai tokoh alim ulama, Ia juga dikenal karena kesaktianya. Pada suatu kisah dimana ia dimintai bantuan Bupati Ronggo Madiun untuk membantu Bupati Trenggalek atau ada pula yang menyatakan Bupati Ngawi untuk membantu mengalahkan Patihnya yang Balelo (memberontak). Berkat kesaktianya itu KH. Sari Muhamad berhasil mengalahkan patih tersebut.

Bupati yang dibantu oleh KH. Sari Muhamad kemudian menghadiahkan sebuah bangunan langgar atau Mushola. Konon musholanya tidak dibangun melainkan ada atau datang secara secara tiba-tiba (pada malam harinya) di halaman rumah KH. Sari Muhamad sehingga dinamakan Langgar Tiban. Mushola tersebut masih ada hingga sekarang dan bernama Mushola Baitus Syafa’at. Sempat mengalami beberapa kali perpindahan lokasi (lokasi sekarang Jalan Kaswari Gang Modin) dan mengalami banyak perubahan yang awalnya merupakan langgar panggung. Bagian yang dipertahankan adalah gebyok dengan motif suluran dan kaligrafi.

Salah satu kaligrafi membentuk motif Harimau atau Macan. Kaligrafi motifini mengingatkan kita akan kaligrafi Macan Ali yang menjadi lambang Kasepuhan Cirebon. Pengurus Mushola dan Masyarakat sekitar tidak menyebut kaligrafi macan tersebut dengan Macan Ali melainkan “Jolompong”. Ada tradisi unik di lingkungan mushala ini, konon jika ingin berhasil dalam hal pendidikan atau mendapat pekerjaan agar bermunajat kepada Allah SWT dan membersihkan “jolompong” tersebut.



K.H. Sari Muhamad kemudian mendirikan pendidikan pesantren dilingkungan Jambewangen. Dari sinilah kemudian lingkungan Jalan Kaswari dikenal dengan nama Gang Pasantren. Tidak hanya mumpuni dalam bidang agama dan kesaktian, Ia sempat membudidayakan tanaman jeruk. Rupanya tanaman Jeruk ini kemudian dikembangkan Takeran (Kabupaten Magetan). Hal ini dikarenakan banyak santri KH. Sari Muhamad yang berasal dari sana. Jeruk inilah yang kemudian dikenal dengan nama Jeruk Nambangan.

Tinggalan KH Sari Muhamad tidak berupa masjid, bekas tempat tinggalnya sampai sekarang masih bisa kita temui meski lokasinya berada ditengah-tengah perkampungan yang padat. Rumahnya sekarang ditempati oleh para keturunanya. Beliau wafat pada 17 Juli 1937 dan dimakamkan pemakaman Jambewangen berdampingan dengan Istrinya yang bernama Mbah Nyai Pacalan. Area pemakaman yang terletak dibelakang Masjid Baitul Rohman ini sudah lama tidak difungsikan lagi akibat terkena proyek tangkis sungai madiun. Beberapa makam tertimbun tanah proyek tangkis termasuk makam atau Punden Patih Ki Ageng Jambewangen. Makam K.H Sari Muhamad sempat mau dipindahkan Ke Pemakaman Umum Jedong namun tidak bisa dengan alasan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Sumber :
Wawancara Bapak Mustakim (Ketua RW Lingkungan Jambewangen), Bapak Kabul, Bapak Mulyono (Keduanya Cucu KH. Sari Muhamad), Bapak Djumono (Sesepuh), Mbah Suparsih (Putra mantu), Bapak Punawari, Bapak Prapto (warga jalan Kaswari)
Lihat juga : https://satriomediun.wordpress.com/2018/05/27/kisah-kyai-sari-muhamad-langgar-tiban-dan-jeruk-nambangan/