Muneng adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Pilangkenceng, Kabupaten Madiun. Desa ini dilewati oleh Jalan Raya penghubung Ngawi – Caruban (Madiun). Nyaris tidak ada pemandangan mencolok di desa ini kecuali hamparan sawah yang luas. Muneng merupakan desa kecil yang jumlah dusunnya hanya tiga yakni Dusun Muneng I, Muneng II, dan Muneng III. Adapun batas-batas desa ini adalah sebelah utara desa Pulerejo, sebelah barat Kabupaten Ngawi,sebelah timur Desa Pulerejo, dan sebelah selatan, Desa Simo.
Potensi desa muneng yang penulis ketahui hanyalah Jambu Muneng, Budidaya Jangkrik serta Telecenter-nya. Melihat sawah di desa ini yang luas, pekerjaan mayoritas warganya adalah petani sawah. Potensi desa muneng yang mungkin belum banyak orang tahu adalah sejarahnya. Pernahkah kalian mendengar atau membaca tentang adanya Kabupaten Muneng?. Iya… Kabupaten Muneng yang sekarang menjadi sebuah desa. Tentunya banyak yang belum tahu jika kita tidak menelusurinya. Penulis sendiri awalnya baru mengetahui bahwa Muneng pernah menjadi kabupaten dari buku Sejarah Kabupaten Madiun. Muneng sebagai kabupaten juga banyak disinggung dalam buku-buku karya sejarah sejarawan asal Inggris Peter Carey.
Lewat buku-buku tersebut penelusuran ke lapangan pun penulis lakukan pada bulan Agustus 2017 kemarin. Penelusuran bersama Mahasiswa Sejarah IKIP PGRI Madiun, Sunarno, hasilnya masih zonk . Penulis hanya menemukan sebuh punden desa bernama Temenggungan. Punden ini kiranya belum bisa dikaitkan dengan keberadaan Kabupaten Muneng. Penelusuran ke makam-makam pun tak membuahkan hasil. Muneng yang sekarang merupakan sebuah desa kecil. Mungkin penelusuran ke desa tetangga nantinya juga perlu dilakukan.
Sebelum membahasnya terlebih dahulu kita harus tahu mengenai asal-usul dari muneng. Catatan mengenai asal usul nama Muneng penulis ambil dari desakumuneng.blogspot.co.id. Desa Muneng dulu masih berupa hamparan semak belukar yang banyak tumbuh-tumbuhannya, tumbuh-tumbuhan empon-empon yang paling banyak diantara tumbuhan lainnya. Tumbuhan empon-empon tersebut masing-masing punya nama yang berbeda-beda, antara lain : Temu Lawak, Temu Ireng, Temu Glenyeh dan masih banyak lagi lainnya. “e-Neng-e yo munr te Mu“, orang dahulu memberi nama daerah tertentu selalu dengan kenyataa yang ada, “Neng dan Mu“. Lamun-lamun mbesok ono rejane jaman, alas iki kasebut deso MuNeng (seandainya nanti ada kemakmuran jaman, hutan ini disebut desa MuNeng), kata tersebut di ucapkan orang-orang dahulu kala. Pada akhirnya Desa Muneng sekarang ramai dengan segala aktifitas masyarakatnya.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Bukti Muneng dulu merupakan sebuah kabupaten bisa ditemukan dalam sumber-sumber literasi. Dalam buku Sejarah Kabupaten Madiun, ketika Perang Diponegoro meletus tanggal 20 Juli 1825 Kabupaten-kabupaten sekitar Madiun termasuk Kabupaten Muneng ikut berperang dan mendukung Diponegoro. Bupati Muneng saat itu yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin adalah Raden Mas Tumenggung Yudokusumo II. Dalam buku tersebut juga dijelaskan mengenai letak kabupaten muneng yang berada disebalah tenggara Kabupaten Wonokerto atau Tunggul atau Kranggan dengan ibukotanya di Muneng yang sekarang masih terkenal (Margana dkk, 2017 : 101-102. Pemda II Madiun, 1980 : 168-169)
Beberapa buku karya Sejarah Peter Carey memberikan informasi menarik tentang Kabupaten Muneng. Dalam buku Perempuan-perempuan perkasa di Jawa abab XVIII-XIX Karya Peter Carey dan Vincent Houben, membahas tokoh perempuan dari Kabupaten Muneng yakni Raden Ayu Yudokusumo. Ia adalah putri dari Sultan pertama dari Istri resmi ketiga yakni Ratu Wandhan. Ia kemudian dinikahi oleh Bupati Muneng Raden Mas Tumenggung Yudokusumo I. Sebelumnya Bupati ini memerintah Kabupaten Grobogan-Wirosari (1792-1812). Muneng merupakan kabupaten baru yang didirikan pasca-aneksasi Inggris sesuai dengan syarat perjanjian 1 Agustus 1812 (Carey dan Hoadley dalam Carey dan Houben, 2016 : 28). Pasca serangan ke Kesultanan Yogya, Inggris membuat perjanjian atau pakta dengan keraton-keraton dimana salah satunya mengizinkan penggabungan beberapa wilayah-wilayah luas (Kedu, Pacitan, Jipang, Japan, Grobogan dan Provinsi terpencil lainya) (Carey 2017 : 51-52).
Ketika daerahnya (Grobogan-wirosari) terkena aneksasi. Raden Ayu Wirayawan itu menolak untuk meninggalkan kabupatenya tanpa perintah langsung dari sultan Ketiga. Ia gigih mempertahankan tempatnya dari perwira tentara inggris, Letnan George Richard Pemberton (1789-1866). Setelah ada utusan langsung dari Yogyakarta ia pun terpaksa meninggalkan kabupaten itu dan pindah bersama suaminya ke Muneng. Karena Suami kurang cakap, Urusan kepindahannya Raden Ayu sendiri yang melaksanakan. Dalam Babad Panular atau Babad jatunya Yogyakarta, Raden Ayu Yudokusumo merupakan perempuan yang punya kecerdasan tinggi, kemampuan besar dan siasat jitu selayaknya laki-laki (Kang Tyas Raden Ayu lantip mupugi guneng Priya) (Carey dan Houben, 2016 : 28, Carey , 2017 : 39, 153-154).
Sifat-sifat hebatnya ditunjukkan ketika berada di Kabupaten Muneng. Nyatanya dia adalah seorang wanita yang cerdas dan energik yang mendominasi keluarganya dan mendapatkan reputasi untuk sebagai salah seorang panglima pasukan perempuan Diponegoro yang paling kejam selama Perang Jawa dengan melaksanakan pembantaian komunitas Tionghoa di pasar beras yang penting di Ngawi di Bengawan Solo pada 17 September 1825. Aksinya di Ngawi membuat Raden Ayu Yudokusumo mendapat gelar pejuang yang garang “seorang perempuan cerdas namun sangat menakutkan”. Saat menyerah kepada Belanda pada Oktober 1928, ia bersama anggota lain keluarga besarnya mencukur gundul rambutnya sebagai lambang kesetiaan pada perang sabil melawan Belanda dan orang Jawa yang menjadi sekutunya (Louw dan De Klerck dalam Carey dan Houben, 2016 : 28-29, Carey, 2017 : 40, Catatan 267). Raden Ayu Yudokusumo tidak sendiri. Pejuang wanita lainya dalam perang diponegoro adalah Nyai Ageng Serang.
Sebelumnya sudah dijelaskan mengenai berdirinya kabupaten Muneng yakni pasca serangan inggris ke Kraton Yogya. Penulis memiliki pandangan berbeda dalam hal ini. Kabupaten Muneng kemungkinan sudah lama berdiri sejak terjadinya palihan nagari tahun 1755. Saat itu Mataram dipecah menjadi dua yakni Yogyakarta dan Surakarta. Dua daerah berpengaruh di jawa ini kemudian memiliki wilayah kekuasaan atau istilahnya adalah mancanegara. Kabupaten Muneng termasuk wilayah mancanegara kasultanan Yogyakarta. Menariknya di situs desakumuneng.blogspot.co.id, , Muneng telah ada sejak tahun 1752 sebagai Desa. Lurah pertamanya bernama Bapak Irodongso. Entah dari mana sumbernya namun bisa saja pendapat tersebut bisa benar adanya. Sesuai dengan asal-usul desa ini yang merupakan semak belakur kemudian dibabad menjadi sebuah desa. Hingga akhirnya desa ini menjadi sebuah Kabupaten.
Masih soal Kabupaten Muneng, Pasca Perang Diponegoro Belanda berhasil menguasai Madiun tahun 1830. Pemerintah Kolonial di Madiun kemudian mengeluarkan kebijakan tentang pengurangan jumlah bupati sekaligus kabupaten di wilayah karesidenan Madiun. Salah satu kabupaten yang dihapus itu adalah Kabupaten Muneng. Penghapusan dilakukan secara bertahap hingga tahun 1877 tinggal menyisakan 5 kabupaten yakni Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo dan Pacitan. Sebegai bentuk penghormatan, bupati-bupati yang terkena dampak dari reorganisasi diberi kompensasi oleh Pemerintah Kolonial. Masa selanjutnya, Muneng menjadi sebuah desa yang wilayahnya masuk Onderdistrik (Setara Kecamatan) Pilangkenceng, Distrik (Kawedanan) Caruban (Margana Dkk, 2017).
Muneng sekarang merupakan sebuah desa kecil. Namun siapa sangka dulunya merupakan sebuah kabupaten yang memiliki tokoh hebat. Pejuang Wanita dari Madiun tak hanya Retno Dumillah, masih ada Raden Ayu Yudokusumo dari Muneng yang kini menjadi wilayah Kabupaten Madiun. Tulisan ini belum sempurna namun semoga bermanfaat dan tidak menimbulkan keresahan bagi yang membacanya terutama masyarakat Desa Muneng.
Sumber Rujukan:
Carey, Peter. 2017. Inggris di Jawa 1811-1816. Jakarta : Kompas
_________& Houben, Vincent. 2016. Perempuan-perempuan perkasa di Jawa abad XVIII-XIX. Jakarta : KPG
_________. 2015. Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755–1825. Jakarta : Komunitas Bambu.
__________. 2008. The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Leiden: KITLV Press, 2007
_________. 2014. Takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855. Jakarta : Kompas
Margana, Sri, dkk, 2017. Madiun : Sejarah Politik & Tranformasi Kepemerintahan dari Abad XIV hingga Awal Abad XXI. Madiun : Pemerintah Kabupaten Madiun bekerja sama dengan Dep. Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun. 1980. Sejarah Kabupaten Madiun. Madiun: Pemda Madiun.
desakumuneng.blogspot.co.id