Penulis/Narasumber : Ismono
Pada waktu Perjanjian Gianti Puro antara Pangeran Mangkubumi atau Sunan Pakubowono III dan Kompeni Belanda di Desa Gianti, Pangeran Mangkubumi mendapat sebagian wilayah Kasunanan Strrakarta Hadiningrat yang letaknya disebelah barat Kasunanan. Wilayah timur Kabupaten Madiun termasuk di dalam kekuasaan Pangeran Mangkubumi.
Kira-kira pada tahun 1755 M, berdirilah suatu kerajaan yang bemama kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Adapun yang menjadi raja saat itu adalah Pangeran Mangkubumi dengan gelar Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Hing Ngaloga Sayidin Panetep Panoto Garno Kalipatullah Amirulmukminin Tanah Jawi yang pertama (I).
Pada dasamya, Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Hamengku Buwono mempunyai tujuan ingin merdeka dan berdiri sendiri, tidak mau beketja sama dengan Kompeni Belanda. Beliau ingin menyejahterakan seluruh rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat tanpa kecuali dan tidak meminta bantuan kepada kompeni. Maksud baik Kanjeng Sultan mendapat tantangan dari patihnya yang bemama Patih Danurejo I karena Patih Danurejo sudah mendapat hasutan dan bujuk rayu dan kompeni Belanda dengan tujuan untuk mengadu domba.
Dengan akal bulus Patih Danurejo, Kanjeng Sultan Hamengku Buwono dapat dipengaruhi dan akhimya berdatanganlah komperu Belanda ke kesultanan. Di situ mereka mendirikan loji-loji dan mendirikan benteng dengan alasan untuk menjaga keselamatan dan keamanan kesultanan.
Lama-kelanman tingkah laku kompeni Belanda semakin keterlaluan yaitu terlalu ikut mencampuri urusan pemerintahan dalam kesultanan. Segala urusan pemerintahan yang kurang cocok dengan komperu Belanda harus diubah. Kanjeng sultan sudah tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah dihasut oleh Patih Danurejo I. Suasana kesultanan nlakin lama makin panas karena campur tangan kompeni Belanda dan Patili Danurejo I.
Dalam suasana yang memanas ini muncullah seorang panglima perang yang bemama Pangeran Denowo. Panglima perang ini akan mengadakan pemberontakan terhadap kesultanan dan kompeni Belanda dengan tujuan agar kanjeng sultan hams memutuskan hubungarmya dengan kompeni Belanda dan kompeni Belanda secepatnya meninggalkan kesultanan Ngayogyokarto. Pangeran Denowo sebenamya masih kerabat keraton dan pada masa Pangeran Mangkubumi mengadakan perlawanan terhadap kompeni Belanda, Pangeran Denowo menjadi panglima perangnya. Di dalam pertempuran melawan kompeni Belanda, pasukan yang dipimpinnya selalu mendapat kemenangan.
Dengan jiwa dan semangat anti-Belanda inilah timbul dendam kesumat pada diri Pangeran Denowo. Pada waktu kesultanan mengadakan pertemuan agung yang membicarakan masalah situasi di kesultanan, Pangeran Denowo tidak hadir. Kejadian ini lantas dirnanfaatkan secara licik oleh Patih Danurejo yang sejak lama tidak senang kepada Pangeran Denowo. Berkat pengaruh Pangeran Denowolah ambisi dia untuk menjadi penguasa kesultanan gagal.
Dengan tidak hadirnya Pangeran Denowo dalam Pisowanan Agung, Patih Danurejo menganggap Pangeran Denowo akan mbalelo dan menentang sultan karena dialah yang selalu menghalang-halangi maksud dan tujuan kompeni Belanda untuk bekerja sarna. Bagi Patih Danurejo, menangkap dan membunuh Pangeran Denowo bukanlah perkara yang sulit. Dia akan melapor kepada sultan bahwa Pangeran Denowo akan melakukan pemberontakan dan sudah menyusun kekuatan untuk menggernpur kesultanan. Laporan Patih Danurejo tersebut diterirna oleh sultan. Ia segera memerintah Patih Danurejo menangkap Pangeran Denowo.
Di rumah kediamannya, Pangeran Denowo sedang mengadakan perundingan dengan Tumenggung Singoyudo dan RM. Gajah Sureng Pati untuk membebaskan kesultanan dari cengkerarnan kompeni Belanda. Untuk itu, disusunlah prajurit-prajurit pilihan yang setia kepada Pangeran Denowo. Adapun pasukan pemberontak dipirnpin oleh Tumenggung Singoyudo dan dibantu oleh RM. Gajah Sureng Pati. Pada suatu ketika terjadilah pertempuran yang dahsyat antara pasukan Pangeran Denowo melawan pasukan kesultanan yang dibantu oleh pasukan kompeni Belanda. Di dalam perternpuran itu pasukan Pangeran Denowo dapat dipukul mundur bahkan pasukannya kocar-kacir hingga Pangeran Denowo dan Tumenggung Singoyudo melarikan diri ke Kabupaten Madiun.
Walaupun demikian, Pangeran Denowo masih sernpat memberikan komando pada anak buahnya supaya mengadakan pedawanan secara tersembunyi. Dia akan meminta bantuan kepada Bupati Madiun karena setelah perjanjian Gianti Puro, Bupati Madiun tidak senang kepada sultan. Bupati Madiun adalah bupati yang paling menentang kehadiran kornpeni Belanda. Pada waktu perang Mangkubumen berkobar, Bupati Madiun mengirirnkan bala bantuan para prajuritnya dan bahan makanan. Sewaktu kesultanan ada ontran-ontran yang menjadi Bupati Madiun adalah Tumenggung Pangeran Mangkudipuro.
Sikap bupati yang demikian sudah lama diketahui oleh pangeran, maka setelah pasukannya dapat dipukul mundur oleh pasukan kesultanan, dia lari minta bantuan kepada Bupati Madiun. Untuk mengelabui dan menghindari pengejaran dari pasukan kompeni BeIanda. Pangeran Denowo menyamar sebagai orang sudra dan berangkat menuju ke wilayah Kabupaten Madiun. Wilayah Kabupaten Madiun sebelah utara pada waktu itu masih berupa hutan ilalang dan semak belukar. Walaupun demikian, ada sebuah desa yaitu Desa Gedangan. Status desa tersebut adalah kademangan. Maka desa tersebut dinamakan Kademangan Gedangan. Adapun yang menjadi demang adalah Demang Citro Sudarmo. Ki Demang mempunyai anak bemama Endang Palupi. Kedatangan Pangeran Denowo dan Singoyudo yang berpakaian sudra tidak masuk ke Kabupaten Madiun tetapi masuk ke Kademangan Gedangan. Keduanya akan ikut Ki Demeng dan dijadikan pembantu Ki Demang. Lama-kelamaan antara Pangeran Denowo dan Endang Palupi’ ada hubungan cinta.
Hubungan cinta kedua pihak diketahui oleh Ki Demang yang membuatnya murka sehingga Pangeran Denowo dicaci maki karena dianggap tidak pantas seorang buruh menjalin cinta dengan anak Demang. Pangeran Denowo akhirnya membuka jati dirinya. Mengetahui bahwa orang yang dianggap buruh itu adalah panglima perang dari kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Ki Demang serta merta berlutut mohon ampun.
Pangeran Denowo mengutarakan maksud dan tujuannya pada Ki Demang, yaitu akan minta bantuan kepada Bupati Madiun dan sekaligus akan menyusun kekuatan di kademangan. Pangeran akan mengurnpulkan sisa-sisa laskar prajurit Pangeran Denowo yang masih mengadakan perlawanan terhadap kompeni Belanda di mana-mana. Setelah sisa-sisa laskar prajurit Pangeran Denowo terkumpul di bawah pimpinan RM. Gajah Sureng Pati di Kademangan, Pangeran Denowo mengumpulkan pemuda-pemuda sewilayah Kademangan untuk dijadikan prajurit. Latihan keprajuritan dipimpin oleh RM. Gajah Sureng Pati.
Latihan prajurit di Kademangan Gedangan itu diketahui oleh Bupati Madiun, Tumenggung Mangku Dipuro. Ia memerintahkan salah satu prajuritnya untuk memanggil Demang Gedangan dan pimpinan prajurit tersebut. Setelah mepghadap Bupati Madiun, Pangeran Denowo mengutarakan maksud dan tujuannya kepada Bupati Madiun mengenai pembentukan pasukan prajurit di kademangan. Pangeran Denowo juga menceritakan suasana di kesultanan Ngayogyakarta yang saat itu sudah menjalin kerja sama dengan Kompeni Belanda karena ulah Patih Danurejo I.
Pangeran Denowo menyatakan keinginannya urltuk mengumpulkan dan menyusun kembali kekuatan pasukannya dalam menghadapi pasukan kesultanan. Oleh sebab itu, pembentukan prajurit Kademangan Gedangan juga akan minta bantuan prajurit-prajurit Bupati Madiun agar dapat menghadapi pasukan kesultanan yang dibantu oleh kompeni Belanda.
Usul baik Pangeran Denowo akhirnya disambut gembira oleh Tumenggung Mangku Dipuro. Beliau bersedia memberikan bantuan prajurit-prajurit Madiun untuk mendukung upaya pemberontakan Pangeran Denowo terhadap kesultanan. Bahkan, Bupati Madiun berjanji akan terjun langsung dalam medan pertempuran karena sejak Perjanjian Gianti Puro, ia sudah tidak senang pada pemerintahan kesultanan yang bekerja sama dengan Kompeni Belanda. Bupati Madiun masih terns berjuang melawan Kompeni Belanda.
Meskipun prajurit-prajurit Pangeran Denowo dapat dikalallkan dalam peperangan, kesultanan Ngayogyakarta tetap memburu dan mencari Pangeran Denowo. Sultan Hamengku Buwono I menyebarkan telik sandi ke seluruh wilayah kesultanan Ngayogyakarta untuk menemukan tempat persembunyian Pangeran Denowo. Telik sandi melaporkan bahwa Pangeran Denowo berada di wilayah Kabupaten Madiun, tepatnya di Kademangan Gedangan dan sudah menghimpun kembali sisa-sisa laskamya untuk mengadakan pemberontakan yang kedua kalinya terhadap kesultanan.
Mendengar laporan telik sandinya, Sri Sultan murka. Beliau memerintahkan Patih Danurejo untuk segera menangkap Pangeran Denowo. Pasukan yang dipimpin Patih Danurejo berangkat menuju Kabupaten Madiun tetapi tidak langstmg menuju pendopo kabupaten melainkan langsung menuju ke Kademangan Gedangan. Patih Danurejo bertemu dengan Pangeran Denowo. Patih Danurejo mengutarakan maksudnya bahwa ia diutus oleh Sultan Hamengkubuwono untuk mengajak Pangeran Denowo kembali ke kesultanan Ngayogyakarta. Ajakan Patih Danurejo ditolak mentah-mentah oleh Pangeran Denowo. Ia mengatakan bersedia kembali ke kesultanan apabila Sri Sultan mau membuatkan jarik bercorak Lurik Semanggi untuknya. Mendengar peiDlintaan Pangeran Denowo tersebut, Patih Danurejo sangat marah karena menganggap Pangeran Denowo telah meremehkan Sri Sultan. Akhimya, tetjadilah pertempuran yang dahsyat di wilayah Kademangan Gedangan.
Prajurit dari kesultanan tidak menyadari bahwa yang mereka hadapi tidak hanya- prajurit kademangan saja, tetapi senopati-senopati dan prajurit Madiun.
Sebelum Patih Danurejo dan pasukan kesultanan datang ke Kabupaten Madiun, Pangeran Denowo memang sudah mempersiapkan dapur umum, perlengkapan, minuman, makanan yang ditempatkan di bawah pohon asam. Untuk mengingat-ingat kejadian tersebut, pohon asam itu dinamai Asem Dono yang sekarang letaknya di Desa Bagi, Kecamatan Madiun.
Pasukan kademangan dipimpin oleh panglima perang R.M. Gajah Sureng Pati dan dibantu oleh Tumenggung Singoyudo. Dalam pertempuran itu, pasukan kesultanan mengalami kekalahan total sehingga mereka akhimya mundur kembali ke wilayah kesultanan. Setiba di kesultanan, Patih Danurejo melaporkan jalannya pertempuran di Kabupaten Madiun itu kepada Sri Sultan.
Mendengar laporan kegagalan Patih Danurejo tersebut, Sri Sultan menjadi sangat marah. Beliau segera memerintahkan Patih Danurejo untuk minta bantuan kepada Bupati Magetan dan Bupati Ponorogo. Kemudian berangkatlah Patih Danurejo ke Magetan dan Ponorogo untuk meminta bantuan. Setelah bertemu dengan kedua bupati tersebut, Patih Danurejo menyampaikan maksudnya untuk meminta bantuan prajurit guna menghancurkan pasukan pemberontak yang berada di wilayah Kabupaten Madiun.
Kedua bupati setuju untuk memberikan bantuan dan segera berangkat dengan membawa prajurit masing-masing. Keberangkatan kedua bupati dan prajuritnya tersebut menuju daerah Madiun telah disadap oleh telik sandi prajurit Madiun, maka keadaan ini dilaporkan kepada panglima perang R.M. Gajah Sureng Pati. Karena yang dihadapi ini adalah dua kabupaten yaitu Magetan dan Ponorogo, panglima perang R.M. Gajah Sureng Pati menghubungi bupati Madiun Tumenggung Mangku Dipuro untuk memberitahukan penyerangan kedua bupati tersebut ke kademangan Gedangan. Mendengar laporan itu, Bupati Madiun segera menghimpun dan memerintahkan bupati-bupati yang berada di wilayah kekuasaan Madiun untuk menghadapi bupati Magetan dan Ponorogo.
Pada saat itu terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat karena semua pasukan dari kesultanan dikerahkan untuk menumpas pemberontakan Pangeran Denowo yang dibantu prajurit Kademangan Gedangan dan Kadipaten Madiun. Di sisi lain, Pangeran Denowo juga mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya untuk melawan pasukan kesultanan yang dibantu prajurit Magetan dan Ponorogo. Walaupun kuat, prajurit Magetan dan Ponorogo tidak mampu melawan kekuatan pasukan Kademangan Gedangan dan prajurit Madiun yang sudah dipersiapkan dengan matang.
Bupati Ponorogo dan Magetan dengan prajuritnya mengalami kekalahan telak. Karena takut pada panglima perang kademangan, R.M. Gajah Sureng Pati, mereka lari tunggang langgang hingga paying pusaka milik Bupati Magetan pun ditinggalkan begitu saja di bawah pohon palem. Sebagai peringatan, panglima perang R.M. Gajah Sureng Pati kemudian menamai daerah itu dengan nama Desa Palem Payung.
Panglima perang R.M. Gajah Sureng Pati beserta parajuritnya mengejar Bupati Magetan dan Ponorogo, yang lari dengan para prajuritnya, sambil bersorak-sorak sebagai pertanda kemenangan. Prajurit kesultanan yang saat itu berada di belakang pasukan Magetan dan Ponorogo tidak talm kalau dua bupati sekutunya itu mengalami kekalahan. Mereka menganggap yang bersorak-sorak adalah prajurit Magetan dan Ponorogo. Oleh karena itu, mereka turut bersorak-sorak penuh kemenangan. Kejadian ini diketahui oleh R.M. Gajah Sureng Pati. Sebagai peringatan untuk mengingat kejadian itu, R.M. Gajah Sureng Pati kemudian menamai daerah tersebut dengan nama Desa Tiron yang diambil dari bahasa Jawa tiru yang artinya meniru.
Sumber : Tulisan Ini Diambil Dari Buku Antologi Cerita Rakyat Jawa Timur, Terbitan Balai Bahasa Surabaya Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Balai Bahasa Surabaya Tahun 2011)