Mendekatkan diri kepada Allah SWT memang tidak selalu pergi ke tempat masjid dan bersembahyang, banyak banyak cara yang bisa dilakukan untuk dekat dengan Allah SWT. Salah satu cara itu dengan memalui kesenian. Bentuk lagu-lagu kita sering mendengarkan lagunya Maher Zain, Opick, Sulis dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat nikmati dimana pun dan kapan pun. Mungkin sedikit berbeda dengan memalui kesenian yang tidak bisa dinikmati kapan pun tapi bisa ditemui dimana pun.
Di Masa lalu, Sunan Kalijaga mengunakan cara kesenian dalam menyebarkan agama islam. Salah satu cara itu adalah menciptakan kesenian Wayang Kulit dan Lagu jawa Ilir-ilir. Pengunaan kesenian tersebut dimaksudkan agar mudah diterima masyarakat jawa yang belum memeluk agama islam. Hingga ini banyak ditemui kesenian-kesenian Jawa yang bernafaskan islam.
Latar Belakang Budaya
Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar merupakan salah satu kecamatan yang kaya akan budaya mulai dari tinggalan budaya yang berupa candi penataran hingga kesenian-keseniannya. Kecamatan nglegok yang berbatasan langsung dengan Kota Blitar memiliki 3 Kesenian utama yaitu Kesenian Reog Bulkyo, Kentrung Dayu atau biasa dikenal dengan Kentrung e Mbah Summeh, dan Kesenian Mondreng. Ketiga kesenian ini sangat bernafaskan islam. Kesenian Mondreng adalah salah satu diantaranya dan yang paling islam. Kesenian ini tumbuh di Dusun Kambingan, Desa Dayu Kecamatan Nglegok dan masih bertahan hingga sekarang. Masyarakat Nglegok sering mementaskan mondreng untuk keperluan hiburan, akan tepai ada juga untuk nadar. Nadar atau Nazar adalah janji kepada diri sendiri hendak berbuat atau melakukan sesuatu jika maksud tercapai. Orang yang nanggap mondreng berharap tujuannya akan terkabul. Sepintas kesenian ini mirip dengan kesenian Gembrung.
Menurut sejarahnya kesenian Mondreng berasal dari Mataram tapi belum diketahui kapan kesenian ini muncul. Kesenian ini sebenarnya mempunyaoi nama asli adalah Mondri. Mondri sendiri memiliki arti yang berarti aji-aji yang ampuh. Hal tersebut dapat dilihat dari buku yang dikarang oleh Martonegoro (seorang abdi dalem Mataram) dan dijadikan pedoman untuk pementasan kesenian Mondreng. Buku tersebut bertuliskan arab pegon, berbahasa jawa dan berisi riwayat para nabi.
Mondreng yang tumbuh dan berkembang Di Desa Dayu adalah pimpinan mbah Sengadi. Mbah Sengadi aslinya berasal dari Jawa Tengah, yang ikut dalam pengarahan tenaga ke Bojonegoro, dengan tujuan agar dapat pekerjaan yang layak untuk hidup, ternyata setelah sampai di Bojonegoro justru terlantar. Mbah Sengadi pergi ke Bojonegoro berbekal kesenian Mondreng, dengan membawa buku untuk pegangan pementasannya yang asli. Karena nasibnya yang malang, yaitu dia sudah terlantar dan buku tersebut hilang, sehingga buku yang ada tinggal tiruannya. Lagi pula disetiap bulan Maulud (bulan jawa) tepatnya tanggal 12 diadakan ulang tahun terhadap kesenian Mondreng tersebut, yaitu dengan mengadakan pertunjukan kesenian ini secara gratis untuk umum
Pelaku dan Perlengkapan Kesenian Mondreng
Pelaku kesenian Monderang tidaklah banyak cukup 10 orang. Dari 10 orang tersebut dibagi menjadi 5 orang pemegang alat musik, 1 orang sebagai dalang dan 4 orang bertugas sebagai ridat (penari) dan sokral (solawat atau penyanyi). Karena dalam mondreng bagian menari itu di saat akhir-akhir 4 orang penari tersebut harus memainkan dulu alat-alat musik mondreng. Durasi pementasan antara 4-5 jam atau bisa sampai subuh akan tetapi itu pun tergantung kondisi. Saat pementasan selama pertunjukkan 1 orang tersebut tidak terus bertugas seperti itu terus hingga selesai, tetapi kalau sudah lelah bergantian tugasnya dan yang jelas, dari awal hingga akhir pertunjukkan tetap 10 orang tersebut.
Perlengkapan Kesenian Mondreng yang digunakan sangat sederhana, yaitu l kendang, 1 Gong (gong yang dimaksud disini adalah gong bentuknya seperti terbang ukuran besar), 1 Kenthuk (kendang ukurang kecil), 1 Ketuk, 1 Kempling/Templing, 1 Terbang dan terakhir 1 kitab yang huruf jawa pegon yang isinya tentang kelahiran nabi. Kitab yang sering dibawa waktu pementasan adalah bukan kitab yang asli melainkan dalam bentuk copyan. Menurut sumber yang saya peroleh, kitab asli telah lama hilang. Kitab tersebut adalah serat ambiyo yang bentuknya berupa pupuh-pupuh gending, sehingga penampilannya semacam cerita yang dilagukan atau ditembangkan.


Pementasan Kesenian Mondreng
Pada tanggal 17 September 2014 penulis berkesempatan untuk mendokumentasikan Kesenian Mondreng. Kesenian Mondreng kali ini melakukan pementasan di Rumah Ibu Sumiatun, Dsn Kambingan, Desa Dayu Kec. Nglegok. Waktu itu penulis tidak sendirian dan ditemani oleh 4 orang mahasiswa asal Universitas Airlangga dan Universitas Negeri Malang yang salah satu diantaran mereka ingin mengambil kesenian ini sebagai bahan skripsinya. Tepat pukul 20.00 atau jam 8 malam, kesenian mondreng di mulai. Sebagai informasi dalam setiap pertunjukkan, kesenian Mondreng pakem ceritanya diambil dari serat Ambiyo. Serat Ambiyo isinya menggambarkan tentang perjalanan kelahiran Nabi Muhammad. Bagi setiap orang yang nanggap pertunjukkan kesenian Mondreng harus menyediakan sesaji, berupa, cok bakal, pisang, kelapa, panggang ayam, dan bunceng. Pada saat pertunjukkan, sesaji biasanya ditaruh dibelakang sang dalang.

Untuk mengawali pementasan di lakukan terlebih dahulu dilakukan semacam pe-nadar-an kepada seorang yang ingin harapnya terkabul. Nadar dilakukan dengan berhadapan dengan orang yang ingin harapanya terkabul dengan membawa beras kuning dengan janur yang telah di campuri koin. Proses nadar selesai ditandai dengan ucapakan ”Allah humma soluallahsayidina Muhammad” dan beras di taburkan ke atas. Setalah itu dengan mengucapkan terima kasih dan membaca Surat Al fatehah pentas kesenian mondreng dimulai. Dalam setiap jalannya pertunjukkan diawali dalang njantur (bercerita) atau berpetuah, dilanjutkan dengan nyanyi atau nembang (solawat). Setelah selesai solawat biasanya disenggaki oleh semua pemain dengan ucapan inggih, barulah adalang njantur kembali Menginjak akhir dilakukan semacam tarian yang seharusnya dilakukan oleh 4 orang. Waktu pentas di rumah ibu sumiatun yang menari hanya 3 orang. Menurut Bapak Miseri, pada waktu itu ikut menari 4 orang yang menari tersebut merupakan pengambaran malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Israil. 4 malaikat adalah pegawal Kanjeng Nabi ketika masih bayi. Bacaan Sholawat menjadi pentup pementasan mondreng dan sebelum membubarkan diri pihak penanggap membagikan sega berkat atau Nasi kondangan kepada para seniman mondreng.

Penutup
Mondreng adalah salah satu warisan budaya tak benda yang harus dilestarikan. Mondreng juga menjadi salah satu bagian dari kebudayaan di Kabupaten Blitar khususnya Kecamatan Nglegok. Kesenian ini adalah kesenian yang tumbuh lewat perkembangan zaman, disarankan kepada masyarakat agar tetap melestarikan kesenian bernafaskan islam yang telah diwariskan oleh para leluhurnya. Selain Masyarakat, Pemerintah Daerah dimana Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan saatnya memberlakukan kebijakan melindungi sumber daya alam dan lingkungan melalui kearifan lokal yang masih bertahan serta dibutuhkan keterlibatan beberapa generasi. Sebab itulah untuk menjamin kelangsungan budaya, dituntut partisipasi dari generasi-generasi selanjutny
- Rujukan
Wawancara dengan Bapak Tumino dan Bapak Miseri (21 Juli 2014)
Catatan : Tulisan ini disusun ketika penulis masih aktif menjadi Penyuluh Budaya Kemendikbud Penempatan Kabupaten Blitar 2013-2015